Bandung, 18 Desember 2015
Sebelum matahari terbenam, dan
sebelum adzan Magrib berkumandang, saya
ingin sekali berkisah. Sebuah kisah tentang tanggal 18 Desember 2015. Bagi
saya, tanggal 18 Desember merupakan tanggal istimewa. Mungkin bukan saya saja
yang menganggap tanggal itu istimewa. Namun, juga keempat rekan saya yang
berjuang bersama mendapatkan sebuah
pengakuan dari salah satu surat kabar paling berpengaruh di Jawa Barat.
Ya tujuh bulan silam, tepatnya 13 Mei
2015 kami ber delapan (sebenarnya sembilan) melangkahkan kaki ke sebuah gedung
bersejarah di pinggiran Jalan Asia Afrika
bernomor 77. Saya sendiri baru
pertama kali melangkahkan kaki ke sana. Masih teringat jelas dalam benak saya
bagaimana kami berdelapan memasuki ruangan.
Saya yang kepagian memilih berjalan
ke arah timur menuju bangku-bangku cantik yang konon disediakan Wali Kota
Ridwan Kamil untuk memperindah pusat kota kembang. Setelah duduk, saya sedikit
melamun, mengingat kejadian 1 April 2015 silam.
Hari itu, hari yang juga tak pernah saya lupakan.
Kepagian. Ya, pagi itu saya mendapat
undangan dari tujuh manusia cerdas dan berpengalaman di bidangnya. Saya
kepagian bukan tanpa alasan. Rupanya, para ‘pencecar’ itu terlambat datang karena jalanan Asia Afrika ditutup
tanpa pemberitahuan. Jadwal ‘pencecaran’ yang seharusnya dilakukan pukul 09.00
WIB, harus molor 30 menit karena mereka
harus mencari jalan menuju hotel tempat dimana saya akan dicecar.
Berhadapan dengan tujuh orang seperti
ini, bukanlah hal yang baru bagi saya. Tahun lalu, saya juga pernah menghadapi
kondisi serupa. Saya pun masih mengenali muka para ‘pencecar’ itu. Ya, tahun
lalu saya memang mencoba peruntungan untuk dapat bergabung bersama media
terkemuka ini. Sayangnya, nasib saya kurang beruntung. Jadilah saya kembali
mencoba di tahun berikutnya.
Memasuki sebuah ruangan ‘pencecar’ memang
agak menakutkan. Saya diberondong beberapa pertanyaan yang sifatnya pribadi
hingga berhubungan dengan profesi yang saya tekuni sekarang ini. Dari beberapa
pertanyaan yang disodorkan mereka, pernyataan yang berhubungan dengan profesi
saya justru tidak bisa saya jawab dengan sempurna. Misalnya pertanyaan tentang
nama-nama pemain bulutangkis Indonesia, dan siapa pemain yang terakhir kali
direkrut oleh Persib Bandung. Saya nyaris putus asa, namun sedikit lega tatkala
bisa menjawab beberapa pertanyaan
tentang kasus GKI Yasmin, atau larangan
kendaraan ber plat B oleh para ‘pencecar’ itu.
Beranjak pada pertanyaan tentang
profesi, mereka mulai beralih pada pertanyaan-pertanyaan intim seperti “sudah
punya pacar?”, “ kamu anak keberapa?” “kenapa kamu pilih Jawa Barat? Kenapa
tidak pilih Jawa Tengah”. Pertanyaan itu masih teringat jelas di benak saya
hingga saat ini. Jika diingat, bibir ini selalu tersungging, malu sendiri
jadinya.
Setelah bercengkerama hampir satu jam
lamanya, saya diminta menulis sebuah artikel. Sama seperti tahun lalu, saya
diminta mengambil undian sebagai tema tulisan yang akan saya buat. Benar saja.
Keberuntungan seperti berpihak kepada saya. Secuil kertas itu bertuliskan tema
“olahraga”, sebuah tema yang saya geluti lima tahun belakangan ini. Tanpa kesulitan, saya pun menuliskan sebuah
artikel tentang kesiapan Jawa Barat dalam menghadapi Pekan Olahraga Nasional
(PON) XIX/2016.
Di antara tujuh para ‘pencecar’ itu,
ada salah seorang yang cukup memikat hati. Kharisma pria berambut gondrong,
berkacamata, serta berkemeja kotak-kotak itu seolah menjadi penyemangat saya untuk
bisa kembali pada tes selanjutnya. Saat saya meninggalkan ruangan itu, saya
disambut senyuman hangat pria itu.
Senyumannya manis, semanis teh panas yang diseduh pada pagi hari. Ah, sudahlah.
Senyuman itu sudah punya milik orang lain, bahkan dia telah dimiliki sesosok
peri mungil yang lucu dan menggemaskan.
Perjalanan menuju 13 Mei 2015
tidaklah sebentar. Saya harus melewati berbagai tes mulai dari menghitung deret angka, di maki
“zero” saat FGD, sampai akhirnya menjalani tes tahap akhir berupa tes kesehatan. Semua saya jalani dengan penuh
pengharapan. Ya, saya memang sangat berharap bisa segera hengkang ke Bandung.
Menuju tempat yang selalu saya impikan sejak dulu.
Sepekan setelah melewati segala
rintangan itu, nomor telepon dari Bandung
tampak muncul dari ponsel pintar saya. Alhamdulilah, sore itu menjadi
hal yang paling membahagiakan. Saya dihubungi bagian SDM media yang saya
idam-idamkan. Setelah yakin saya benar-benar lolos, tiba saatnya saya
berpamitan. Pamit kepada orang-orang yang begitu mengasihi saya di Kota Bogor.
Kota kecil yang begitu saya rindukan setelah saya hijrah ke Bandung.
Cukup sudah melamunnya. Saya kembali
bercerita tentang momen sakral pada 13 Mei 2015. Pada saat itu, saya dan ketujuh rekan saya,
Nur Bany, Ira Vera Tika, Julia Hartini, Sofira Hanan, Gugum Rachmat
Gumilar, dan Gelar Gandarasa memasuki
sebuah ruangan sempit di lantai dua. Saya melihat raut kegembiraan pada muka
mereka. Waktu itu kami memang pantas untuk gembira. Pasalnya, kami berhasil
menyingkirkan ratusan pendaftar yang juga memiliki minat yang sama untuk
bergabung bersama media ini. Oh ya, saya hampir lupa. Teman saya satu lagi,
Luftan M Meilana datang terlambat. Dia terlambat karena harus mengantarkan
ibunya ke sekolah.
Di ruangan tersebut, kami disambut
oleh dua sosok ramah senyum. Namanya Pak
Asep dan Pak San-san. Oh ya saya hampir lupa. Kami juga berjumpa dengan Bu
Citra, bagian dari SDM yang selalu
menyambut kami dengan senyuman hangat,
sehangat nasi padang dengan empal yang mengeyangkan. Hmmm,kenapa saya jadi
ngelantur?
Lanjut lagi ke cerita 13 Mei 2015. Saya sedikit lupa posisi duduk
kami berdelapan. --kenapa berdelapan? ya karena rekan kami Rizki Subardi (layouter
Pikiran Rakyat yang lolos menjadi calon wartawan) datang belakangan--. Yang jelas kami langsung
mendapatkan ucapan selamat bergabung.
Kata bergabung di sini sebenarnya masih dalam tahap 80 persen, karena 20
persennya akan ditentukan oleh masa pelatihan tiga bulan. Jika lolos dari masa
itu, maka kami akan mendapatkan surat keputusan pegawai kontrak waktu tidak
tertentu dengan masa percobaan tiga bulan, sebelum akhirnya resmi diangkat menjadi karyawan tetap. Cukup
panjang bukan?
Setelah melewati obrolan panjang, tibalah
saatnya membubuhkan tanda tangan. Sebuah perjanjian yang akan terus saya ingat, karena cukup sulit untuk menggapai semua itu. Saya
masih ingat sedikit perjanjian kontrak di situ.
Dalam perjanjian tersebut, kami harus menjalani masa pelatihan, dengan
hak per hari Rp 75000,- dengan tambahan uang makan dan uang bensin yang
besarnya kira-kira Rp 35000,-. Saya sedikit lupa, yang jelas uang tersebut
menurut saya hanya cukup untuk membayar kos-kosan dan juga makan sehari-hari.
Selebihnya, saya harus sangat-sangat berhemat, dan sedikit mengorek sisa
tabungan saya yang juga habis untuk biaya bolak-balik Bogor-Bandung selama
menjalani tes seleksi.
Oh ya, kenapa judulnya 18 Mei 2015,
bukannya 13 Mei 2015? Jadi begini, 18
Mei 2015 merupakan hari pertama dimana kami bersembilan mengikuti masa
percobaan. Hari itu saya hitung sebagai hari pertama saya bergabung bersama
Pikiran Rakyat, sesuai dengan isi dalam
perjanjian dalam kontrak antara saya
dengan SDM Pikiran Rakyat.
Oke lah kalau begitu, mungkin cerita
tentang 18 Mei 2015 berhenti sampai di
sini saja. Namun, sebelum mengakhirinya,
saya akan sedikit memperkenalkan kedelapan rekan senasib sepenanggungan yang
mungkin menganggap tanggal 18 Mei 2015 sebagai hari istimewa mereka.
1.
Gugum
Rachmat Gumilar
Gugum ini bisa dibilang angkatan kita
yang paling matang. Sama seperti saya,
sebelum menginjakkan kaki di Asia Afrika, Gugum tiga tahun mengabdi di sebuah
koran nasional yang berbasis di Jawa Barat.
Pertama kali kenal Gugum saat
satu kelompok di FGD. Pada forum itu, gugum mendapatkan peringkat
pertama versi kelompok karena kefasihannya dalam mengemukakan pendapat. Di
antara kami, Gugum memang paling bisa diandalkan dalam hal penulisan. Mungkin
karena badannya kurus dan ceking, Viking sejati ini jadi gesit kesana kemari. Oh ya, Gugum ini
suka sekali dengan segala cerita tentang sejarah. Gugum memang jagonya sejarah
dan pervikingan.
2.
Ira
Vera Tika
Pertama kali kenal anak ini, cukup
dua kata saja untuk menggambarkannya. Super berisik. Pas kenal, ternyata dia
memang berisik, cocok dengan keseharian
saya yang juga berisik. Ira ini lulusan
Jurnalistik FIKOM Unikom. Karena fresh
graduate, anak ini pas awal sering
bertanya. Namun, tulisannya juga bagus.
Oh ya, di antara kami, anak ini paling sering ‘menyesatkan’. Kenapa
menyesatkan? Beberapa kali Ira memberikan informasi yang menurut dia benar.
Nyatanya, info itu selalu salah. Walaupun kadang bikin kesal, tetapi anak ini
paling mudah mencairkan suasana karena ‘kebodorannya’.
Oh ya, kemahirannya mengorek informasi tentang gosip dunia perkantoran, anak
ini sering saya sebut sebagai wartawan investigasi. Dia juga partner gosip dan
makan jengkol saya selama masa pelatihan dan percobaan.
3.
Gelar
Gandarasa
Pertama kali kenal anak ini saat FGD
juga. Kesan pertama adalah kebalikan dari Ira. Sangat pendiam. Jika tidak
ditanya, maka jangan berharap dia akan menyapa. Satu hal yang sangat saya
ingat, Gelar adalah calon wartawan yang
mengajukan diri untuk menjadi peringkat terakhir pada sesi FGD. Ya, pada saat FGD, Gelar memang tidak banyak
memberikan sumbangsih. Bahkan sang penguji mengatakan, kalau dia berlagak
seperti bos. Namun, itu hanya cerita lama si Gelar. Setelah kenal, anak ini
rupanya juga cerewet. Hal yang saya ingat adalah saat dia mengatakan, “daerah
ini tuh keras”. Gelar yang suka sekali
mengucapkan kata “keras” di setiap area peliputannya.
4.
Shofira
Hanan
Pertama kali kenal, saat menjalani
tes kesehatan. Anak ini seperti gemar membaca. Kemana-mana selalu membawa buku
bacaan yang lumayan tebal. Gayanya yang
khas dengan kacamata bundar dan paras yang enak dipandang, membuat dia cukup
mencuri beberapa pria seangkatan. Tidak
perlu disebutkan siapa saja pria-pria itu.
Cukup kami yang tahu. Di antara yang lain, saya memang kurang begitu
dekat dengan Shofira. Kurang dekat dalam
artian, tidak seintens saya bersama Ira, Gugum, atau Gelar. Untuk urusan
bertukar pendapat, terutama urusan perkantoran, kami sering saling curhat. Oh ya,
Sofi ini penyuka Chelsea dan juga sangat betah di kantor. Spot favoritnya
adalah bangku pojok bekas ruang online
. Di sana, Sofi bisa duduk berjam-jam dengan headset kesayangannya.
5.
Julia
Hartini
Pertama kali kenal dekat saat
menjalani tes kesehatan. Sama seperti Sofi, Jule, panggilan kesayangan kami
kepadanya, juga sangat gemar membaca. Lulusan sastra Indonesia ini juga gemar
sekali menulis cerpen. Bahkan, beberapa cerpennya pernah dimuat di koran tempat
kami bernaung, dan beberapa media cetak besar lainnya. Saya juga sangat
berterima kasih kepada Jule karena dia adalah teman yang mengantarkan saya
mencari kos-kosan di daerah Jalan Macan, Bandung. Kalau tidak ada Jule, sudah pasti saya
bingung mencari kosan yang dekat dengan kantor. Sayangnya, perjumpaan saya
dengan Jule di koran ini hanya tiga bulan. Jule masih harus berkelana mencari
tambatan lain, karena pertimbangan berbagai hal dari kantor. Oh ya, Jule ini
anaknya gemar menyanyi. Satu hal yang sangat saya ingat, adalah perjuangan dia
menunggu salah satu mentor kami untuk bimbingan. Saya dan Gugum pun harus
menunggu Jule beres bimbingan hingga pukul 00.30. Jule memang gigih dan
pemberani.
6.
Lutfan
Meilana
Di antara kami bersembilan, Luftan ini bisa dibilang angkatan kami paling muda. Anaknya sangat kritis, tetapi juga humoris. Saya masih ingat, Lutfan
datang sangat terlambat pada sesi psikotes. Namun, saya yakin dia cerdas
sehingga bisa tembus hingga tanggal 18 Mei 2015. Salah satu momen yang tidak akan saya
lupakan, saat seorang mentor kami mengatakan jika Lutfan mewawancarai tokoh
imaginer. Saat percobaan, dia memang menuliskan
narasumber yang ternyata sudah
meninggal. Sejak peristiwa itu, saya sering mendengar lutfan jarang masuk
kantor, karena sakit. Benar saja,
rupanya dia memang sakit, dan gagal lolos ke tahap selanjutnya.
7.
Nurbany
Pertama kali kenal Bany saat mengikuti psikotes. Kami berdua datang
kepagian. Berbicara tentang Bany, banyak yang bisa digambarkan. Pertama kenal
memang sepertinya pendiam. Namun, setelah kenal lama, perilaku ‘bocor’ nya bisa
disejajarkan dengan saya dan Ira. Bany anaknya juga tangguh. Salah satu berita Bany yang paling saya ingat
adalah saat dia meliput tentang festival burung di Cimahi. Mungkin sampai sekarang, Bany juga akan ingat
berita itu, karena gara-gara berita itu Bany harus mentoring sampai menjelang tengah malam. Di antara anak-anak yang lain, saya memang
paling dekat sama Bany dan Ira. Sayangnya, Nurbany tidak lolos tes tahap
percobaan. Meskipun demikian, kami tetap bersahabat, dan kegiatan menggosip
bersama menjadi ritus yang sering kami
gelar setelah membereskan pekerjaan kami. Oh ya, saat ini Bany juga kembali ke dunia jurnalis dengan
bernaung di sebuah media online nasional. Bany memang tangguh, semoga dia
semakin hebat.
8.
Rizky
Subardi
Pertama kali kenal Rizky justru saat
menginjakkan kaki di kantor Asia Afrika. Rizky adalah satu-satunya calon
wartawan dari internal kantor. Sebelum lulus S1 hukum Unpad, Rizky terlebih dahulu bekerja sebagai layout selama
empat tahun. Rizky ini salah satu ‘geng
malam’ kami. Disebut geng malam, karena kami kerap menghabiskan waktu untuk
sekadar bercerita di waktu malam hari.
Berbicara tentang sosok Kiki yang bisa diungkapkan mungkin murah senyum
dan baik hati. Oh ya dia juga pandai memasak.
Rizky merupakan laki-laki beruntung yang mendapatkan hati Shofira. Jangan ditanya berapa lama dia harus melakukan sesi pendekatan. Walaupun
pada akhirnya Kiki gagal tes tahap
selanjutnya, Rizky tetap bahagia karena
bisa memenangkan hati Shofira. J
|
Penampakan foto kami tanpa Rizky Subardi, dari kanan ke kiri : (Gugum, Gelar, Jule, Ira, Windi, Sofira, Bany, Lutfan, Pak Asep).* |
Mungkin ini saja cerita “delapan
belas” dari saya. Untuk cerita lebih
lengkapnya, bisa disimak pada tulisan blog saya selanjutnya.
Terima kasih sudah meluangkan membaca J