Sabtu, 20 Februari 2016

Berjuang untuk Ade Pahmi

Jumat, 20 Februari 2016 

            Mata ini tak kuasa menitikkan air mata, saat melihat Ade Pahmi (8,5) merintih kesakitan di rumah sederhananya, di Kampung Mekartanjung, RT.19, RW.04, Desa Cayur, Kecamatan Cikatomas, 14 Februari 2016 ini.
Ade, bocah yang dulunya dikenal sebagai anak yang ceria, kini harus berjuang melawan penyakit Non Hodgkin Lymphoma Maligna (NHML)  atau yang lebih sering kita dengar sebagai kangker kelenjar getah bening, stadium empat.  Penyakit itu telah menyerang kedua bola mata  Ade, sehingga membuat kedua mata Ade tak lagi berfungsi sejak 11 bulan lalu.
Pertemuan saya dengan Ade terbilang unik. Tiga hari sebelum saya  bertolak ke rumahnya, saya meliput sebuah acara rapat koordinasi Pekan Imunisasi Nasional 2016 di Setda Kabupaten Tasikmalaya. Di sana, saya dihampiri camat Cikatomas, Pak Maman Rahman namanya. Bapak ini tiba-tiba menyodorkan ponsel pintarnya, dan memperlihatkan foto Ade kepada saya. 
Betapa mirisnya saya saat melihat foto Ade. Dalam foto tersebut, kedua mata Ade (maaf) terlihat keluar. Menurut Pak Maman, Ade sudah lama sakit, namun hanya diobati di tingkat puskesmas.  Keluarganya tidak bisa berobat karena tak punya biaya. Selain itu, keluarga Ade yakni Pak Bunyamin dan Ibu Onih,  tidak mendapat tanggungan jaminan kesehatan masyarakat (Kartu Indonesia Sehat) atau Jamkesda, karena  Pak Bunyamin dulunya merupakan mantan kepala dusun.  
Pada saat itu, saya sempat berkomunikasi dengan ayah Ade, Pak Bunyamin. Pak Maman meminta saya menelpon Pak Bunyamin agar bisa mendengarkan keluh kesahnya.  Berbekal informasi tersebut, hari Minggu, 14 Februari 2016 kemarin saya berinisiatif untuk mendatangi rumah Pak Bunyamin di Kampung Mekartanjung.
Saya berangkat sekitar pukul 08.30 pagi, dengan waktu tempuh 1,5 jam dari tempat kos saya di daerah Kota Tasikmalaya. Mungkin jaraknya sekitar 60 kilometer dari Kota Tasik. Cukup sulit mencari rumah Pak Bunyamin. Saya pun harus tersasar terlebih dahulu, sebelum akhirnya bertemu dengan seorang perangkat desa Cayur, Teh Mita di warungnya. Dari sana, saya pun kembali menghubungi Pak Bunyamin untuk minta dijemput karena Teh Mita bilang rumah Pak Bunyamin sulit di cari.
Setelah menunggu kurang lebih setengah jam,  salah seorang anak lelaki pak Bunyamin datang menjemput. Setelah berpamitan dengan teh Mita, saya pun bergegas ke rumah Pak Bunyamin yang letaknya lumayan jauh dari rumah Teh Mita.  Tak hanya jauh, jalannya pun sangat jelek. Jika diibaratkan, jalanan itu penuh dengan batuan, dan sangat sulit dilewati oleh kendaraan roda dua.  Bahkan, anak Pak Bunyamin pun sempat terjatuh karena saking jeleknya jalan itu. Setelah melewati jalanan jelek itu, saya pun harus melewati area perbukitan nan sepi, sebelum akhirnya tiba di bilik sederhana milik Pak Bunyamin.
Sambutan keluarga ini sangatlah hangat, meskipun terdengar miris karena saya harus mendengar Ade Pahmi terus merintih kesakitan. Sambil berkaca-kaca, Pak Bunyamin dan Bu Onih secara bergantian menceritakan awal mula penyakit yang diidap Ade.
“11 bulan lalu anak saya masih sehat. Namun, sepulang bermain ia mengeluh matanya sakit, dan timbul benjolan. Kami kira anak kami kena guna-guna, makanya kita berobat alternatif. Nyatanya tidak sembuh-sembuh, malah tambah parah,”  ujar Pak Bunyamin.
 Setelah sadar anaknya bukan sakit karena guna-guna, Pak Bunyamin pun mendapat bantuan dari Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya untuk mengobati anaknya ke rumah sakit. Saat itu, Pak Bunyamin masih bertindak sebagai punduh (kepala dusun) di Kampung Mekartanjung, sehingga ia mendapatkan fasilitas kesehatan dari pemerintah.  Selama 40 hari lamanya, Ade berjuang di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung untuk menjalani kemoterapi. Namun, Ade hanya menjalani kempo empat kali, dari delapan kemo yang harus dilakukan. Alasannya, Pak Bunyamin tak punya uang lagi untuk bertahan di sana.
“Saat di rujuk ke Bandung, kami nekat ke sana naik bus umum, sampai orang RSHS nya kaget, kenapa tidak di bawa pakai ambulans. Saya sampai gadaikan sawah, yang merupakan sumber pendapatan keluarga, hutang sana-sini, tetapi masih kurang untuk bisa hidup di sana. Jadi lebih baik kami pulang saja,” kata dia.
Sehari setelah saya memberitakan kondisi Ade, keesokan harinya, Ade langsung dijemput pihak puskesmas untuk di bawa berobat ke Rumah Sakit Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya.  Betapa terharunya saya, berkat berita itu, beberapa dermawan juga menelpon saya untuk memberikan sumbangan kepada Pak Bunyamin.   Bahkan, Pak Bunyamin berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada saya atas  kekuatan berita “Pikiran Rakyat” hari itu.
Begini kira-kira sms yang membuat saya sangat terharu : “Ass.? Teh Windi Abdi Th Kedah Kumaha Ngabales Kasaean+Perjuangan Kebaikan Teteh Windi . Th Abdi Tetiyasa. Iwal Abdi Nyangga  Ken K Gusti Allah. Pamudah Mudahan Teh Windi Sa Kulawargi Sing Kenging Gentosna Ti Gusti Maha Suci Anu Langgkung2 Anu Tos Di Korban Ken Harta + Pikiran + Emutan Ka Baikan Ka Abdi. Sareng Sin Di Salamet Kn Dunya Aherat. Amin Ya Robal Alamin.?”
Sungguh saya sangat terharu. Saya belum pernah merasa se mellow ini, karena berita saya  berdampak  positif bagi yang saya beritakan. Namun, ada yang masih mengganjal  dalam lubuk hati saya saat ini. Meskipun Ade sudah di bawa ke rumah sakit Singaparna, namun kondisi Ade semakin memburuk. Rumah Sakit Singaparna tak memiliki fasilitas kemoterapi bagi anak sehingga ia harus di bawa secepatnya kembali ke Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Dalam benak saya, dengan kondisi keuangan keluarga Pak Bunyamin yang serba terbatas. Di tambah anak-anak mereka yang masih kecil, saya khawatir kejadian tahun lalu (dimana mereka kehabisan biaya hidup sehingga kemoterapi Ade tak selesai) akan terjadi.  Meskipun kata dokter spesialis anak RS Singaparna menyatakan harapan Ade Pahmi sangat kecil, namun saya salut dengan keluarga  Pak Bunyamin. Mereka terus berjuang, agar anaknya tak lagi menderita.
Saya masih percaya, Mukjijat itu ada. Saya pun masih percaya, masih banyak orang dermawan di dunia ini.  Walaupun saat ini biaya rumah sakit ditanggung sepenuhnya oleh Pemkab,  saya yakin, keluarga Bunyamin masih membutuhkan bantuan. Mereka masih punya anak-anak lain yang butuh makan, dan sekolah. Mereka pun butuh uang lebih, karena selama mengurus Ade Pahmi,  Pak Bunyamin tak lagi bekerja sebagai Kadus.
Saya berharap, setelah membaca tulisan ini,  rekan-rekan semua bisa sedikit menyisihkan rejeki untuk keluarga Pak Bunyamin dan Ade Pahmi.  Saya percaya, Pak Bunyamin adalah orang yang jujur. Hal itu bisa terlihat dari kerelaan dia tidak terdata sebagai penerima Kartu Indonesia Sehat karena kuota penerima di RT nya hanya 20 orang. Padahal, Bunyamin sendiri  adalah orang kurang mampu.
Maka dari itu, saya sengaja mencantumkan nomor ponsel dan rekening milik Pak Bunyamin. Siapa tahu, ada para dermawan yang ingin membantu Ade Pahmi. Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk memperjuangkan kesembuhan Ade Pahmi. Semoga Ade selalu kuat dan diberi kesembuhan oleh yang Maha Kuasa.***

Nomor Rekening Pak Bunyamin
BRI : 4446-01-020452-53-0 An Bunyamin
BJB : 0065796767100 An Bunyamin
Nomor Telepon Pak Bunyamin : 085223771728

ibu Onih saat mendampingi Ade Pahmi di rumahnya.

Ade Pahmi merintih kesakitan.

Ibu Onih merawat Ade Pahmi dengan penuh kasih sayang.

Ade Pahmi terbaring lemah di ruang isolasi anak di Rumah Sakit Singaparna

pemberitaan di Pikiran Rakyat edisi Senin 14 Februari 2016
pemberitaan di Pikiran Rakyat edisi Jumat 20 Februari 2016