Minggu, 30 Oktober 2016

Sepasang Renta, Cerita Jepang, dan Payung Geulis

Tidak banyak yang tahu jika lorong sempit di sudut Kampung Panyingkiran, RT. 3, RW.2,Kelurahan Panyingkiran, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya adalah saksi bisu asal muasal Payung Geulis. 

Di tepian Sungai Ciloseh itu, masih tersisa tangan-tangan perkasa yang menghabiskan masa tuanya dengan membuat kerajinan khas Tasikmalaya itu. 
Mereka adalah Aah (72) dan Hanan Sumarna (74). Payung geulis secara tak langsung telah mempersatukan mereka. Aah yang anak dari seorang perajin payung geulis memenuhi pinangan adik dari perajin payung geulis, Sahron. 

Mereka pun tak hanya membina bahtera rumah tangga bersama, namun juga sama-sama berjuang melestarikan payung geulis yang sempat punah 60-an. 

Hanan Sumarna saat dijumpai di Gubuk sederhananya, Jumat, 28 Oktober 2016 lalu menceritakan cerita kelam tentang payung geulis yang nyaris hilang karena gempuran payung buatan Jepang dpada tahun 1963.

Setahun sebelum payung plastik menjamur di Indonesia, pasukan Jepang khusus datang ke Tasikmalaya untuk melihat proses pembuatan payung lukis yang kala itu sudah termasyur namanya. Hanan mengatakan, saat itu rombongan orang Jepang mendatangi Kampung Payingkiran. Kala itu, hampir seluruh penduduk di Payingkiran berprofesi sebagai perajin. 

Hanan ingat betul bagaimana rombongan Jepang bertanya tentang proses pembuatan payung geulis mulai dari merangkai kerangka payung, memasang benang, mengelem kertas pada payung, hingga pengecatan. 

"Pada waktu itu ya kita sebagai orang Indonesia dituntut ramah kepada siapapun. Kita ajari mereka semua, tidak tahu kalau tujuannya untuk meniru. Eh tidak tahunya, setahun kemudian payung jepang masuk ke Tasikmalaya, di situlah payung lukis mati," tutur Hanan. 

Menurut Hanan, payung geulis mulai bergeliat kembali pada 1980. Kendati demikian payung lukis buatan Tasikmalaya bukan lagi dikenal sebagai payung untuk melindungi diri dari sinar matahari atau hujan. Melainkan kerajinan tangan, yang digunakan sebagai hiasan rumahan. Nama payung geulis sendiri sebenarnya baru tenar pada tahun 90an. Kala itu, kakak Hanan, Sahron, dipanggil mantan Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto karena kerajinan payung lukis mulai terkenal di nusantara. Dari situ, Sahron menamakan payungnya dengan payung geulis. 

"Saya tak tahu persis kenapa dinamakan payung geulis, ya mungkin karena payungnya cantik, jadi kakak saya menamakan payung Tasikmalaya jadi payung geulis, dan terkenal sampai sekarang," kata Hanan. 

Naik daun

Sang istri, Aah mengatakan, tahun ini permintaan payung geulis sangat meningkat. Setiap bulannya ia bisa mengerjakan minimal 30 pesanan payung geulis yang jenisnya bervariasi mulai dari ukuran 20 sentimete hingga 60 sentimeter. Meskipun payung geulis naik daun, Aah mengaku pendapatan yan diterima dari mengerjakan payung geulis tidak besar. Aah menyebutkan, setiap bulannya ia hanya mendapatkan upah minimal Rp 300 ribu dari pembuatan payung geulis. 

Itu sebabnya, kawula muda termasuk anaknya lebih memilih bekerja di bidang lain daripada meneruskan tradisi keluarga menjadi perajin payung geulis. 

"Anak saya tiga, hanya satu saja yang mau bantu-bantu saya, itupun hanya sesekali. Cucu saya juga begitu, kalau diajarin melukis payung, bilangnya takut kotor," ucap Aah. 

Kondisi tersebut membuat Aah sedikit khawatir dengan masa depan payung geulis. Aah takut, suatu saat tidak ada lagi generasi pemuda yang mau melestarikan payung geulis sehingga payung kebanggaan masyarakat Panyingkiran ini diklaim negara lain, sama halnya seperti yang terjadi pada tahun 1960an. 

"Harapan kami ada penerus yang mau melanjutkan tradisi keluarga sebagai perajin payung geulis, bagaimanapun membuat payung geulis itu bukan hanya pekerjaan, tetapi tradisi yang harus dilestarikan," kata Aah. 

Pengusaha perajin payung tradisional Hasta Adhi Karya, Bagus Judowono Tadjri (70) pun berharap ada generasi penerus yang mau membesarkan industri payung geulis. Saat ini, upaya pemerintah untuk menggeliatkan payung geulis cukup positif. 
Jika tidak direspon oleh generasi muda, mantan karyawan perusahaan farmasi itu pun khawatir, tak ada lagi payung geulis yang bisa dibanggakan di Kota Tasikmalaya.

"Saya ini bukan orang asli Tasikmalaya, tetapi saya jatuh cinta dengan payung geulis. Kinerja pemerintah sudah maksimal, bantuan juga diberikan, termasuk memberikan pelatihan juga. Tetapi sudah saatnya yang tua-tua ini istirahat, digantikan dengan yang muda," kata Bagus.



Tulisan juga di muat di Harian Pikiran Rakyat edisi cetak Sabtu 29 Oktober 2016 halaman 1 dengab judul "Setelah Jepang Bertandang.."

Sabtu, 20 Februari 2016

Berjuang untuk Ade Pahmi

Jumat, 20 Februari 2016 

            Mata ini tak kuasa menitikkan air mata, saat melihat Ade Pahmi (8,5) merintih kesakitan di rumah sederhananya, di Kampung Mekartanjung, RT.19, RW.04, Desa Cayur, Kecamatan Cikatomas, 14 Februari 2016 ini.
Ade, bocah yang dulunya dikenal sebagai anak yang ceria, kini harus berjuang melawan penyakit Non Hodgkin Lymphoma Maligna (NHML)  atau yang lebih sering kita dengar sebagai kangker kelenjar getah bening, stadium empat.  Penyakit itu telah menyerang kedua bola mata  Ade, sehingga membuat kedua mata Ade tak lagi berfungsi sejak 11 bulan lalu.
Pertemuan saya dengan Ade terbilang unik. Tiga hari sebelum saya  bertolak ke rumahnya, saya meliput sebuah acara rapat koordinasi Pekan Imunisasi Nasional 2016 di Setda Kabupaten Tasikmalaya. Di sana, saya dihampiri camat Cikatomas, Pak Maman Rahman namanya. Bapak ini tiba-tiba menyodorkan ponsel pintarnya, dan memperlihatkan foto Ade kepada saya. 
Betapa mirisnya saya saat melihat foto Ade. Dalam foto tersebut, kedua mata Ade (maaf) terlihat keluar. Menurut Pak Maman, Ade sudah lama sakit, namun hanya diobati di tingkat puskesmas.  Keluarganya tidak bisa berobat karena tak punya biaya. Selain itu, keluarga Ade yakni Pak Bunyamin dan Ibu Onih,  tidak mendapat tanggungan jaminan kesehatan masyarakat (Kartu Indonesia Sehat) atau Jamkesda, karena  Pak Bunyamin dulunya merupakan mantan kepala dusun.  
Pada saat itu, saya sempat berkomunikasi dengan ayah Ade, Pak Bunyamin. Pak Maman meminta saya menelpon Pak Bunyamin agar bisa mendengarkan keluh kesahnya.  Berbekal informasi tersebut, hari Minggu, 14 Februari 2016 kemarin saya berinisiatif untuk mendatangi rumah Pak Bunyamin di Kampung Mekartanjung.
Saya berangkat sekitar pukul 08.30 pagi, dengan waktu tempuh 1,5 jam dari tempat kos saya di daerah Kota Tasikmalaya. Mungkin jaraknya sekitar 60 kilometer dari Kota Tasik. Cukup sulit mencari rumah Pak Bunyamin. Saya pun harus tersasar terlebih dahulu, sebelum akhirnya bertemu dengan seorang perangkat desa Cayur, Teh Mita di warungnya. Dari sana, saya pun kembali menghubungi Pak Bunyamin untuk minta dijemput karena Teh Mita bilang rumah Pak Bunyamin sulit di cari.
Setelah menunggu kurang lebih setengah jam,  salah seorang anak lelaki pak Bunyamin datang menjemput. Setelah berpamitan dengan teh Mita, saya pun bergegas ke rumah Pak Bunyamin yang letaknya lumayan jauh dari rumah Teh Mita.  Tak hanya jauh, jalannya pun sangat jelek. Jika diibaratkan, jalanan itu penuh dengan batuan, dan sangat sulit dilewati oleh kendaraan roda dua.  Bahkan, anak Pak Bunyamin pun sempat terjatuh karena saking jeleknya jalan itu. Setelah melewati jalanan jelek itu, saya pun harus melewati area perbukitan nan sepi, sebelum akhirnya tiba di bilik sederhana milik Pak Bunyamin.
Sambutan keluarga ini sangatlah hangat, meskipun terdengar miris karena saya harus mendengar Ade Pahmi terus merintih kesakitan. Sambil berkaca-kaca, Pak Bunyamin dan Bu Onih secara bergantian menceritakan awal mula penyakit yang diidap Ade.
“11 bulan lalu anak saya masih sehat. Namun, sepulang bermain ia mengeluh matanya sakit, dan timbul benjolan. Kami kira anak kami kena guna-guna, makanya kita berobat alternatif. Nyatanya tidak sembuh-sembuh, malah tambah parah,”  ujar Pak Bunyamin.
 Setelah sadar anaknya bukan sakit karena guna-guna, Pak Bunyamin pun mendapat bantuan dari Pemerintah Kabupaten Tasikmalaya untuk mengobati anaknya ke rumah sakit. Saat itu, Pak Bunyamin masih bertindak sebagai punduh (kepala dusun) di Kampung Mekartanjung, sehingga ia mendapatkan fasilitas kesehatan dari pemerintah.  Selama 40 hari lamanya, Ade berjuang di Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung untuk menjalani kemoterapi. Namun, Ade hanya menjalani kempo empat kali, dari delapan kemo yang harus dilakukan. Alasannya, Pak Bunyamin tak punya uang lagi untuk bertahan di sana.
“Saat di rujuk ke Bandung, kami nekat ke sana naik bus umum, sampai orang RSHS nya kaget, kenapa tidak di bawa pakai ambulans. Saya sampai gadaikan sawah, yang merupakan sumber pendapatan keluarga, hutang sana-sini, tetapi masih kurang untuk bisa hidup di sana. Jadi lebih baik kami pulang saja,” kata dia.
Sehari setelah saya memberitakan kondisi Ade, keesokan harinya, Ade langsung dijemput pihak puskesmas untuk di bawa berobat ke Rumah Sakit Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya.  Betapa terharunya saya, berkat berita itu, beberapa dermawan juga menelpon saya untuk memberikan sumbangan kepada Pak Bunyamin.   Bahkan, Pak Bunyamin berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada saya atas  kekuatan berita “Pikiran Rakyat” hari itu.
Begini kira-kira sms yang membuat saya sangat terharu : “Ass.? Teh Windi Abdi Th Kedah Kumaha Ngabales Kasaean+Perjuangan Kebaikan Teteh Windi . Th Abdi Tetiyasa. Iwal Abdi Nyangga  Ken K Gusti Allah. Pamudah Mudahan Teh Windi Sa Kulawargi Sing Kenging Gentosna Ti Gusti Maha Suci Anu Langgkung2 Anu Tos Di Korban Ken Harta + Pikiran + Emutan Ka Baikan Ka Abdi. Sareng Sin Di Salamet Kn Dunya Aherat. Amin Ya Robal Alamin.?”
Sungguh saya sangat terharu. Saya belum pernah merasa se mellow ini, karena berita saya  berdampak  positif bagi yang saya beritakan. Namun, ada yang masih mengganjal  dalam lubuk hati saya saat ini. Meskipun Ade sudah di bawa ke rumah sakit Singaparna, namun kondisi Ade semakin memburuk. Rumah Sakit Singaparna tak memiliki fasilitas kemoterapi bagi anak sehingga ia harus di bawa secepatnya kembali ke Rumah Sakit Hasan Sadikin.
Dalam benak saya, dengan kondisi keuangan keluarga Pak Bunyamin yang serba terbatas. Di tambah anak-anak mereka yang masih kecil, saya khawatir kejadian tahun lalu (dimana mereka kehabisan biaya hidup sehingga kemoterapi Ade tak selesai) akan terjadi.  Meskipun kata dokter spesialis anak RS Singaparna menyatakan harapan Ade Pahmi sangat kecil, namun saya salut dengan keluarga  Pak Bunyamin. Mereka terus berjuang, agar anaknya tak lagi menderita.
Saya masih percaya, Mukjijat itu ada. Saya pun masih percaya, masih banyak orang dermawan di dunia ini.  Walaupun saat ini biaya rumah sakit ditanggung sepenuhnya oleh Pemkab,  saya yakin, keluarga Bunyamin masih membutuhkan bantuan. Mereka masih punya anak-anak lain yang butuh makan, dan sekolah. Mereka pun butuh uang lebih, karena selama mengurus Ade Pahmi,  Pak Bunyamin tak lagi bekerja sebagai Kadus.
Saya berharap, setelah membaca tulisan ini,  rekan-rekan semua bisa sedikit menyisihkan rejeki untuk keluarga Pak Bunyamin dan Ade Pahmi.  Saya percaya, Pak Bunyamin adalah orang yang jujur. Hal itu bisa terlihat dari kerelaan dia tidak terdata sebagai penerima Kartu Indonesia Sehat karena kuota penerima di RT nya hanya 20 orang. Padahal, Bunyamin sendiri  adalah orang kurang mampu.
Maka dari itu, saya sengaja mencantumkan nomor ponsel dan rekening milik Pak Bunyamin. Siapa tahu, ada para dermawan yang ingin membantu Ade Pahmi. Terima kasih sudah membaca tulisan ini. Hanya ini yang bisa saya lakukan untuk memperjuangkan kesembuhan Ade Pahmi. Semoga Ade selalu kuat dan diberi kesembuhan oleh yang Maha Kuasa.***

Nomor Rekening Pak Bunyamin
BRI : 4446-01-020452-53-0 An Bunyamin
BJB : 0065796767100 An Bunyamin
Nomor Telepon Pak Bunyamin : 085223771728

ibu Onih saat mendampingi Ade Pahmi di rumahnya.

Ade Pahmi merintih kesakitan.

Ibu Onih merawat Ade Pahmi dengan penuh kasih sayang.

Ade Pahmi terbaring lemah di ruang isolasi anak di Rumah Sakit Singaparna

pemberitaan di Pikiran Rakyat edisi Senin 14 Februari 2016
pemberitaan di Pikiran Rakyat edisi Jumat 20 Februari 2016




Jumat, 22 Januari 2016

“Delapan Belas”


Bandung, 18 Desember 2015

Sebelum matahari terbenam, dan sebelum adzan Magrib berkumandang,  saya ingin sekali berkisah. Sebuah kisah tentang tanggal 18 Desember 2015. Bagi saya, tanggal 18 Desember merupakan tanggal istimewa. Mungkin bukan saya saja yang menganggap tanggal itu istimewa. Namun, juga keempat rekan saya yang berjuang bersama mendapatkan  sebuah pengakuan dari salah satu surat kabar paling berpengaruh di Jawa Barat.
Ya tujuh bulan silam, tepatnya 13 Mei 2015 kami ber delapan (sebenarnya sembilan) melangkahkan kaki ke sebuah gedung bersejarah di pinggiran Jalan Asia Afrika  bernomor 77.  Saya sendiri baru pertama kali melangkahkan kaki ke sana. Masih teringat jelas dalam benak saya bagaimana kami berdelapan memasuki ruangan.
Saya yang kepagian memilih berjalan ke arah timur menuju bangku-bangku cantik yang konon disediakan Wali Kota Ridwan Kamil untuk memperindah pusat kota kembang. Setelah duduk, saya sedikit melamun, mengingat kejadian 1 April 2015 silam.  Hari itu, hari yang juga tak pernah saya lupakan.
Kepagian. Ya, pagi itu saya mendapat undangan dari tujuh manusia cerdas dan berpengalaman di bidangnya. Saya kepagian bukan tanpa alasan. Rupanya, para ‘pencecar’ itu  terlambat datang karena jalanan Asia Afrika ditutup tanpa pemberitahuan. Jadwal ‘pencecaran’ yang seharusnya dilakukan pukul 09.00 WIB, harus molor 30 menit  karena mereka harus mencari jalan menuju hotel tempat dimana saya akan dicecar.
Berhadapan dengan tujuh orang seperti ini, bukanlah hal yang baru bagi saya. Tahun lalu, saya juga pernah menghadapi kondisi serupa. Saya pun masih mengenali muka para ‘pencecar’ itu. Ya, tahun lalu saya memang mencoba peruntungan untuk dapat bergabung bersama media terkemuka ini. Sayangnya, nasib saya kurang beruntung. Jadilah saya kembali mencoba di tahun berikutnya.
Memasuki sebuah ruangan ‘pencecar’ memang agak menakutkan. Saya diberondong beberapa pertanyaan yang sifatnya pribadi hingga berhubungan dengan profesi yang saya tekuni sekarang ini. Dari beberapa pertanyaan yang disodorkan mereka, pernyataan yang berhubungan dengan profesi saya justru tidak bisa saya jawab dengan sempurna. Misalnya pertanyaan tentang nama-nama pemain bulutangkis Indonesia, dan siapa pemain yang terakhir kali direkrut oleh Persib Bandung. Saya nyaris putus asa, namun sedikit lega tatkala bisa menjawab beberapa  pertanyaan tentang kasus GKI Yasmin,  atau larangan kendaraan ber plat B oleh para ‘pencecar’ itu.
Beranjak pada pertanyaan tentang profesi, mereka mulai beralih pada pertanyaan-pertanyaan intim seperti “sudah punya pacar?”, “ kamu anak keberapa?” “kenapa kamu pilih Jawa Barat? Kenapa tidak pilih Jawa Tengah”. Pertanyaan itu masih teringat jelas di benak saya hingga saat ini. Jika diingat, bibir ini selalu tersungging, malu sendiri jadinya.
Setelah bercengkerama hampir satu jam lamanya, saya diminta menulis sebuah artikel. Sama seperti tahun lalu, saya diminta mengambil undian sebagai tema tulisan yang akan saya buat. Benar saja. Keberuntungan seperti berpihak kepada saya. Secuil kertas itu bertuliskan tema “olahraga”, sebuah tema yang saya geluti lima tahun belakangan ini.  Tanpa kesulitan, saya pun menuliskan sebuah artikel tentang kesiapan Jawa Barat dalam menghadapi Pekan Olahraga Nasional (PON) XIX/2016.
Di antara tujuh para ‘pencecar’ itu, ada salah seorang yang cukup memikat hati. Kharisma pria berambut gondrong, berkacamata, serta berkemeja kotak-kotak itu seolah menjadi penyemangat saya untuk bisa kembali pada tes selanjutnya. Saat saya meninggalkan ruangan itu, saya disambut senyuman hangat  pria itu. Senyumannya manis, semanis teh panas yang diseduh pada pagi hari. Ah, sudahlah. Senyuman itu sudah punya milik orang lain, bahkan dia telah dimiliki sesosok peri mungil yang lucu dan menggemaskan.
Perjalanan menuju 13 Mei 2015 tidaklah sebentar. Saya harus melewati berbagai tes  mulai dari menghitung deret angka, di maki “zero” saat FGD, sampai akhirnya menjalani tes tahap akhir berupa  tes kesehatan. Semua saya jalani dengan penuh pengharapan. Ya, saya memang sangat berharap bisa segera hengkang ke Bandung. Menuju tempat yang selalu saya impikan sejak dulu.
Sepekan setelah melewati segala rintangan itu, nomor telepon dari Bandung  tampak muncul dari ponsel pintar saya. Alhamdulilah, sore itu menjadi hal yang paling membahagiakan. Saya dihubungi bagian SDM media yang saya idam-idamkan. Setelah yakin saya benar-benar lolos, tiba saatnya saya berpamitan. Pamit kepada orang-orang yang begitu mengasihi saya di Kota Bogor. Kota kecil yang begitu saya rindukan setelah saya hijrah ke Bandung.
Cukup sudah melamunnya. Saya kembali bercerita tentang momen sakral pada 13 Mei 2015.  Pada saat itu, saya dan ketujuh rekan saya, Nur Bany, Ira Vera Tika, Julia Hartini, Sofira Hanan, Gugum Rachmat Gumilar,  dan Gelar Gandarasa memasuki sebuah ruangan sempit di lantai dua. Saya melihat raut kegembiraan pada muka mereka. Waktu itu kami memang pantas untuk gembira. Pasalnya, kami berhasil menyingkirkan ratusan pendaftar yang juga memiliki minat yang sama untuk bergabung bersama media ini. Oh ya, saya hampir lupa. Teman saya satu lagi, Luftan M Meilana datang terlambat. Dia terlambat karena harus mengantarkan ibunya ke sekolah.
Di ruangan tersebut, kami disambut oleh dua sosok ramah senyum.  Namanya Pak Asep dan Pak San-san. Oh ya saya hampir lupa. Kami juga berjumpa dengan Bu Citra,  bagian dari SDM yang selalu menyambut kami dengan senyuman  hangat, sehangat nasi padang dengan empal yang mengeyangkan. Hmmm,kenapa saya jadi ngelantur?
Lanjut lagi ke cerita  13 Mei 2015. Saya sedikit lupa posisi duduk kami berdelapan. --kenapa berdelapan? ya karena rekan kami Rizki Subardi (layouter Pikiran Rakyat yang lolos menjadi calon wartawan) datang belakangan--. Yang jelas kami langsung mendapatkan ucapan selamat bergabung.  Kata bergabung di sini sebenarnya masih dalam tahap 80 persen, karena 20 persennya akan ditentukan oleh masa pelatihan tiga bulan. Jika lolos dari masa itu, maka kami akan mendapatkan surat keputusan pegawai kontrak waktu tidak tertentu dengan masa percobaan tiga bulan, sebelum akhirnya  resmi diangkat menjadi karyawan tetap. Cukup panjang bukan?
Setelah melewati obrolan panjang, tibalah saatnya membubuhkan tanda tangan. Sebuah perjanjian yang  akan terus saya ingat, karena  cukup sulit untuk menggapai semua itu. Saya masih ingat sedikit perjanjian kontrak di situ.  Dalam perjanjian tersebut, kami harus menjalani masa pelatihan, dengan hak per hari Rp 75000,- dengan tambahan uang makan dan uang bensin yang besarnya kira-kira Rp 35000,-. Saya sedikit lupa, yang jelas uang tersebut menurut saya hanya cukup untuk membayar kos-kosan dan juga makan sehari-hari. Selebihnya, saya harus sangat-sangat berhemat, dan sedikit mengorek sisa tabungan saya yang juga habis untuk biaya bolak-balik Bogor-Bandung selama menjalani tes seleksi.
Oh ya, kenapa judulnya 18 Mei 2015, bukannya 13 Mei 2015? Jadi begini,  18 Mei 2015 merupakan hari pertama dimana kami bersembilan mengikuti masa percobaan. Hari itu saya hitung sebagai hari pertama saya bergabung bersama Pikiran Rakyat,  sesuai dengan isi dalam perjanjian dalam kontrak antara  saya dengan SDM Pikiran Rakyat.
Oke lah kalau begitu, mungkin cerita tentang 18 Mei 2015  berhenti sampai di sini saja.  Namun, sebelum mengakhirinya, saya akan sedikit memperkenalkan kedelapan rekan senasib sepenanggungan yang mungkin menganggap tanggal 18 Mei 2015 sebagai hari istimewa mereka.

1.      Gugum Rachmat Gumilar
Gugum ini bisa dibilang angkatan kita yang paling matang.  Sama seperti saya, sebelum menginjakkan kaki di Asia Afrika, Gugum tiga tahun mengabdi di sebuah koran nasional yang berbasis di Jawa Barat.  Pertama kali kenal Gugum saat  satu kelompok di FGD. Pada forum itu, gugum mendapatkan peringkat pertama versi kelompok karena kefasihannya dalam mengemukakan pendapat. Di antara kami, Gugum memang paling bisa diandalkan dalam hal penulisan. Mungkin karena badannya kurus dan ceking, Viking sejati ini  jadi gesit kesana kemari. Oh ya, Gugum ini suka sekali dengan segala cerita tentang sejarah. Gugum memang jagonya sejarah dan pervikingan.
2.      Ira Vera Tika
Pertama kali kenal anak ini, cukup dua kata saja untuk menggambarkannya. Super berisik. Pas kenal, ternyata dia memang berisik, cocok dengan  keseharian saya yang juga berisik.  Ira ini lulusan Jurnalistik FIKOM Unikom. Karena  fresh graduate, anak ini pas awal  sering bertanya. Namun, tulisannya juga bagus.  Oh ya, di antara kami, anak ini paling sering ‘menyesatkan’. Kenapa menyesatkan? Beberapa kali Ira memberikan informasi yang menurut dia benar. Nyatanya, info itu selalu salah. Walaupun kadang bikin kesal, tetapi anak ini paling  mudah mencairkan suasana karena ‘kebodorannya’. Oh ya, kemahirannya mengorek informasi tentang gosip dunia perkantoran, anak ini sering saya sebut sebagai wartawan investigasi. Dia juga partner gosip dan makan jengkol saya selama masa pelatihan dan percobaan.
3.      Gelar Gandarasa
Pertama kali kenal anak ini saat FGD juga. Kesan pertama adalah kebalikan dari Ira. Sangat pendiam. Jika tidak ditanya, maka jangan berharap dia akan menyapa. Satu hal yang sangat saya ingat, Gelar adalah  calon wartawan yang mengajukan diri untuk menjadi peringkat terakhir pada sesi FGD.  Ya, pada saat FGD, Gelar memang tidak banyak memberikan sumbangsih. Bahkan sang penguji mengatakan, kalau dia berlagak seperti bos. Namun, itu hanya cerita lama si Gelar. Setelah kenal, anak ini rupanya juga cerewet. Hal yang saya ingat adalah saat dia mengatakan, “daerah ini tuh keras”.  Gelar yang suka sekali mengucapkan kata “keras” di setiap area peliputannya.
4.      Shofira Hanan
Pertama kali kenal, saat menjalani tes kesehatan. Anak ini seperti gemar membaca. Kemana-mana selalu membawa buku bacaan yang  lumayan tebal. Gayanya yang khas dengan kacamata bundar dan paras yang enak dipandang, membuat dia cukup mencuri beberapa pria seangkatan.  Tidak perlu disebutkan siapa saja pria-pria itu.  Cukup kami yang tahu. Di antara yang lain, saya memang kurang begitu dekat dengan Shofira.  Kurang dekat dalam artian, tidak seintens saya bersama Ira, Gugum, atau Gelar. Untuk urusan bertukar pendapat, terutama urusan perkantoran, kami sering saling curhat. Oh ya, Sofi ini penyuka Chelsea dan juga sangat betah di kantor. Spot favoritnya adalah bangku pojok bekas ruang online . Di sana, Sofi bisa duduk berjam-jam dengan headset kesayangannya.
5.      Julia Hartini
Pertama kali kenal dekat saat menjalani tes kesehatan. Sama seperti Sofi, Jule, panggilan kesayangan kami kepadanya, juga sangat gemar membaca. Lulusan sastra Indonesia ini juga gemar sekali menulis cerpen. Bahkan, beberapa cerpennya pernah dimuat di koran tempat kami bernaung, dan beberapa media cetak besar lainnya. Saya juga sangat berterima kasih kepada Jule karena dia adalah teman yang mengantarkan saya mencari kos-kosan di daerah Jalan Macan, Bandung.  Kalau tidak ada Jule, sudah pasti saya bingung mencari kosan yang dekat dengan kantor. Sayangnya, perjumpaan saya dengan Jule di koran ini hanya tiga bulan. Jule masih harus berkelana mencari tambatan lain, karena pertimbangan berbagai hal dari kantor. Oh ya, Jule ini anaknya gemar menyanyi. Satu hal yang sangat saya ingat, adalah perjuangan dia menunggu salah satu mentor kami untuk bimbingan. Saya dan Gugum pun harus menunggu Jule beres bimbingan hingga pukul 00.30. Jule memang gigih dan pemberani.
6.      Lutfan Meilana
Di antara kami bersembilan,  Luftan ini bisa dibilang  angkatan kami paling muda.  Anaknya sangat kritis,  tetapi juga humoris. Saya masih ingat, Lutfan datang sangat terlambat pada sesi psikotes. Namun, saya yakin dia cerdas sehingga bisa tembus hingga tanggal 18 Mei 2015.  Salah satu momen yang tidak akan saya lupakan, saat seorang mentor kami mengatakan jika Lutfan mewawancarai tokoh imaginer. Saat percobaan, dia memang menuliskan  narasumber yang  ternyata sudah meninggal. Sejak peristiwa itu, saya sering mendengar lutfan jarang masuk kantor, karena sakit. Benar saja,  rupanya dia memang sakit, dan gagal lolos ke tahap selanjutnya.
7.      Nurbany
Pertama kali kenal Bany  saat mengikuti psikotes. Kami berdua datang kepagian. Berbicara tentang Bany, banyak yang bisa digambarkan. Pertama kenal memang sepertinya pendiam. Namun, setelah kenal lama, perilaku ‘bocor’ nya bisa disejajarkan dengan saya dan Ira. Bany anaknya juga tangguh.  Salah satu berita Bany yang paling saya ingat adalah saat dia meliput tentang festival burung di Cimahi.  Mungkin sampai sekarang, Bany juga akan ingat berita itu, karena gara-gara berita itu Bany harus mentoring sampai  menjelang tengah malam.  Di antara anak-anak yang lain, saya memang paling dekat sama Bany dan Ira. Sayangnya, Nurbany tidak lolos tes tahap percobaan. Meskipun demikian, kami tetap bersahabat, dan kegiatan menggosip bersama  menjadi ritus yang sering kami gelar setelah membereskan pekerjaan kami. Oh ya, saat ini Bany  juga kembali ke dunia jurnalis dengan bernaung di sebuah media online nasional. Bany memang tangguh, semoga dia semakin hebat.
8.      Rizky Subardi
Pertama kali kenal Rizky justru saat menginjakkan kaki di kantor Asia Afrika. Rizky adalah satu-satunya calon wartawan dari internal kantor. Sebelum lulus S1 hukum Unpad, Rizky  terlebih dahulu bekerja sebagai layout selama empat tahun.  Rizky ini salah satu ‘geng malam’ kami. Disebut geng malam, karena kami kerap menghabiskan waktu untuk sekadar bercerita di waktu malam hari.  Berbicara tentang sosok Kiki yang bisa diungkapkan mungkin murah senyum dan baik hati. Oh ya dia juga pandai memasak.  Rizky merupakan laki-laki beruntung yang mendapatkan hati  Shofira. Jangan ditanya berapa lama dia  harus melakukan sesi pendekatan. Walaupun pada akhirnya Kiki gagal  tes tahap selanjutnya,  Rizky tetap bahagia karena bisa memenangkan hati  Shofira. J


Penampakan foto kami tanpa Rizky Subardi,  dari kanan ke kiri : (Gugum, Gelar, Jule, Ira, Windi, Sofira, Bany, Lutfan, Pak Asep).*

Mungkin ini saja cerita “delapan belas” dari saya.  Untuk cerita lebih lengkapnya, bisa disimak pada tulisan blog saya selanjutnya.

Terima kasih sudah meluangkan membaca J


Selasa, 19 Januari 2016

Menyusuri Pesona Primadona Kulon Progo


Bandung, 19 Januari 2016

Jarum jam sudah menunjukkan pukul 16.00 WIB. Akan tetapi, sore di di Pantai  Glagah, Kecamatan Temon, Kulon Progo, Provinsi Yogyakarta, Minggu, 27 Desember 2015 masih terasa terik.  Kendati demikian,  para pelancong di kawasan wisata bahari ini tampak antusias menikmati sajian debur ombak laut Selatan sembari menunggu senja tiba.
Ya, Pantai Glagah memang sudah sejak lama menjadi wisata primadona di Kulon Progo. Berkunjung ke pantai itu beberapa kali,  rasa bosan tak pernah menghinggapi. Pantai ini tak hanya menawarkan keindahan debur ombak laut Selatan yang garang.  Hamparan  laguna yang luas dengan gundukan pasir dan tanaman pantai di tepiannya juga terasa memanjakan mata.
Laguna di Pantai Glagah merupakan salah satu fenomena alami yang tidak banyak dimiliki pantai-pantai di Indonesia.  Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia, laguna merupakan danau asin dekat pantai yang dahulu merupakan bagian laut yang dangkal. Fenomena tersebut terjadi karena  peristiwa  geografi dimana   ombak laut di daratan  terjebak pada cekungan yang cukup dalam.
Salah seorang pelancong menaiki perahu wisata di Laguna, Pantai Glagah
Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

penumpang perahu wisata menikmati pemandangan Laguna di Pantai Glagah
Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
 Pada masa liburan seperti akhir tahun kemarin,  sudah dapat dipastikan kawasan Pantai Glagah akan diserbu ratusan bahkan ribuan pelancong. Terletak 40 kilometer di Barat pusat Yogyakarta, dan 10 kilometer dari tugu perbatasan Provinsi Yogyakarta – Provinsi Jawa Tengah, membuat Pantai Glagah menjadi destinasi pilihan warga Yogyakarta ataupun warga Kabupaten Purworejo yang ingin berlibur. Aksesnya yang mudah, ditambah  harga tiket masuknya yang terjangkau juga menjadi nilai tambah Pantai Glagah yang semakin menawan ini.

Ada dua alternatif jalan yang bisa dilalui untuk menuju pantai ini. Dari arah Yogyakarta menuju  Kabupaten Purworejo,  pengunjung bisa melalui gerbang Pantai Glagah di Kecamatan Temon. Sementara  jika dari arah Kabupaten Purworejo,  pengunjung bisa melalui  Jalan Daendles, yang bisa ditemui setelah melewati  tugu perbatasan Yogyakarta-Jawa Tengah. Dari perempatan  Jalan Daendles, pengunjung berbelok kiri sampai menemukan ada plang  masuk dalam kawasan Pantai Glagah.  Hanya dengan membayar  tiket masuk sebesar Rp 1.500 per orang, ditambah biaya kendaraan Rp 1.000 untuk roda dua, dan Rp 1.500 untuk roda empat,  pengunjung sudah dapat menikmati keindahan panorama pantai berpasir hitam ini.
Penampakan Tetrapod pada dermaga Pantai Glagah, Kecamatan Temon,
Kabupaten Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.

Para pengunjung  berjalan di sepanjang dermaga Tetrapod di Pantai Glagah,
Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. 
Menyusuri Pantai Glagah di jamin tidak ada bosannya. Di sepanjang jalan menuju Pantai Glagah, pengunjung dapat menyaksikan keindahan Samudra Hindia di sisi Barat dan  puluhan tambak udang di  bagian timur.  Sebagai masyarakat pesisir,  memiliki tambak udang, lobster, dan sejenisnya memang sudah menjadi budaya masyarakat Kulon Progo yang tak bisa ditinggalkan.
Setelah memarkirkan kendaraan di tempat parkir yang disediakan, pengunjung langsung disambut  hamparan laguna yang  sangat indah. Perahu-perahu wisata di tepian laguna tampak sudah menanti untuk dinaiki.  Laguna yang tenang juga memungkinkan  pelancong untuk mengayuh dayung kano.  Perahu bebek warna-warni juga disewakan untuk memenuhi hasrat bermain air di laguna.
Ingin berenang di laguna? Bisa saja. Ombak besar di Pantai Glagah membuat pihak pengelola melarang pengunjung untuk berenang. Sebagai gantinya, para pelancong bisa berenang di laguna yang tenang dan mengasyikkan.
Puas bermain di laguna,  pelancong bisa menuju ke area dermaga pemecah ombak  di sisi barat pantai. Ratusan tetrapod yang berjajar di sepanjang dermaga dengan pongahnya memecahkan ombak laut yang garang. Sensasi berkejaran dengan ombak juga dapat dirasakan di  ujung dermaga ini. Beberapa pelancong  tampak berdiri menghadap ke timur tak jauh dari ujung dermaga. Mereka  mengambil momen dimana ombak tinggi menjulang di belakang mereka. Hal itu pula yang dilakukan salah seorang pelancong asal Bogor, Jaenal Abidin (26).  Pria ini berpose membelakangi ombak, dan meminta rekannya untuk mengabadikan momen  saat  ombak  garang menjulang mengarah kepadanya.
“Rasanya beda saja. Saya baru kali ini melihat ombak sebesar ini. Di pantai yang sering saya kunjungi, ombaknya besar,tetapi tak sebesar ini. Di sini juga ada spot foto yang menegangkan. Saat ombak datang, perasaan kita seperti akan terbawa, tetapi tenang saja, foto di area sini aman, asalkan tidak terlalu dekat dengan pagar pembatas,” ujar Jaenal.
Seorang pelancong memandangi ombak Pantai Glagah
Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.

seorang memancing saat ombak tengah pasang di Pantai Glagah
Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
Tak hanya untuk tempat ber foto ria,  dermaga pemecah ombak juga menjadi surga bagi para pemancing. Mereka akan rela duduk berjam-jam di antara tetrapoid yang ada, sambil sesekali menarik pancingan, berharap  ikan besar terperangkap jebakan mereka.  Salah seorang pemancing asal Purworejo, Hengkang Bara (27) mengungkapkan,  memancing di laut memiliki sensasi tersendiri.  Biasanya, para pemancing menggunakan teknik pasiran, yakni teknik memancing menggunakan joran panjang dan timbel yang beratnya mencapai  80 hingga 100 gram.
“Biasanya saya mancing dari pagi, berangkat jam 6, nanti sore menjelang matahari terbenam baru pulang ke rumah. Banyaknya ikan tergantung ombak. Makin kecil makin bagus. Bisa satu ikan saja tetapi beratnya 8 kg, malah ada juga yang sampai dapat ikan yang beratnya 20 kg,”  kata Hengkang saat dijumpai di Pantai Glagah.

Pemandangan pantai layaknya di Pantai Kuta, Bali juga bisa dilihat di sisi barat laut dermaga.    Puluhan  payung berjajar rapi di antara hamparan pasir berwarna hitam. Di sana,  para pelancong bisa menikmati  keindahan  debur ombak dari kejauhan. Jangan buru-buru beranjak dari pantai ini sebelum matahari terbenam. Tunggulah  hingga semburat senja menghiasi langit  Glagah.  Duduk dan menghadaplah ke barat di sisi dermaga pemecah ombak, atau duduk di hamparan pasir di barat laut.  Suguhan cahaya emas yang memantul sempurna dari permukaan laut dan menyusup melewati celah tetrapod menjadi klimaks dari pesona Pantai Glagah.
Semburat cahaya jingga dari matahari menyembul di antara dua tetrapod
Pantai Glagah, Kab. Kulon Progo, Yogyakarta

Jika pengunjung ingin menyaksikan kesakralan ritus Hajad dalem Labuhan Kadepaten Pura Pakualaman,  maka datanglah ke Pantai Glagah pada 10 Muharram atau 10 Sura menurut penggalan Jawa. Dilansir dari situs resmi Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Kulon Progo, ritus ini merupakan  ritus yang digelar Kadipaten Pakualaman.
Menurut beberapa warga sekitar, upacara tersebut merupakan ritus tahunan sebagai bentuk wujud raja syukur kepada Sang Pencipta. 
Seorang pelancong menikmati matahari tenggelam di Pantai
Glagah, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta.
Ritus tersebut diawali dengan upacara kecil di Pesanggrahana Puro Pakualaman di Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulon Progo.  Setelah itu, keluarga besar  Pakualaman akan melabuh ubo rampe –  sesaji berupa hasil bumi (padi, buah, umbi-umbian), kain kebesaran pangeran,  – meliputi tiga gunungan,  dengan prosesi arak-arakan terlebih dahulu dari Puro Pakualaman menuju Pantai Glagah sejauh dua kilometer.
Puncaknya, warga atau pengunjung Pantai Glagah yang mengikuti prosesi Labuhan ini bisa mengalap berkah gunungan yang dilabuh ke laut. Warga Glagah percaya,uborampe  yang sudah didoakan dalam labuhan dapat memberikan berkah kebaikan dalam kehidupan.  Tak heran, jika ritus labuhan ini selalu dinanti  warga atau pelancong yang penasaran tentang prosesi dari ritus tahunan Labuhan ini.

Wisata kuliner
                Berkunjung ke Pantai Glagah, tak lengkap rasanya jika tak menikmati santapan kuliner lautnya. Warung-warung lesehan yang berdiri di sepanjang jalan menuju dermaga pemecah ombak menawarkan santapan hasil laut yang lezat dan mengeyangkan. Salah satu jajanan yang tengah menjadi primadona saat ini yakni olahan undur-undur laut goreng.  Hewan yang memiliki nama latin Emerita atau lebih akrab disebut yutuk atau wrutuk ini dahulu lebih dikenal sebagai umpan untuk memancing.
Namun, beberapa tahun ke belakang, undur-undur laut juga diolah menjadi penganan yang nikmat dan tak kalah dengan kerabatnya seperti udang, kepiting, dan lobster. Undur-undur laut biasanya digoreng dengan tepung.  Harganya pun sangat terjangkau,  yakni Rp 5000 per bungkus. Setiap bungkusnya berisi kurang lebih 10 hingga 15 yutuk.
sumber :Jejaring,net I Undur-undur laut yang dijual di Pantai Glagah.

“Rasanya tidak jauh berbeda dengan udang. Hanya lebih sedikit dagingnya,” ucap Jaenal saat mencicipi undur-undur laut yang dijual di pasar wisata Pantai Glagah.
Selain lezat dan murah, undur-undur laut dipercaya memiliki banyak manfaat untuk tubuh. Kandungan  asam lemak omega 3 yang dimiliki  undur-undur laut diyakini menaikkan kadar insulin dalam tubuh.  Sehingga, undur-undur laut dipercaya dapat menurunkan kadar gula bagi penderita diabetes.
“Kalau liburan saya bisa jual 25 kilogram undur-undur. Kalau hari biasa paling 5 kilogram saja,” ucap Ngatinah, penjual undur-undur laut goreng.

Jika tak suka makanan laut, pengunjung  Pantai Glagah juga bisa membeli semangka atau melon segar yang dijual petani lokal di sepanjang jalan menuju pantai. Buah naga segar yang dijual di kawasan agrowisata Pantai Glagah juga bisa menjadi alternatif oleh-oleh kerabat dan keluarga. Tertarik menyusuri pesona Pantai Glagah? Silakan  buktikan sendiri keindahannya. (Windiyati Retno Sumardiyani)*** 


*Berkah dari Pantai Glagah

“Ayo kene numpak perahu, rame-rame karo pacare apa karo bojone (Ayo ke sini naik perahu,
ramai-ramai bersama pacar atau suami/istrinya)”


Kalimat itu terlontar dari mulut Ngadiman (50), seorang operator perahu wisata Laguna Pantai Glagah, Kabupaten Kulon Progo, akhir Desember 2015 lalu. Meskipun wajahnya tampak lelah, semangatnya untuk menjajakan perahu kepada pengunjung Pantai Glagah tak pernah surut. Ngadiman dengan sabar merayu para pelancong agar bersedia diajak berkeliling laguna dengan perahunya.

Tak butuh waktu lama bagi Ngadiman untuk memenuhi perahunya. Dalam waktu kurang dari 10 menit, para pelancong mulai menaiki perahu berkapasitas 16 penumpang itu. Sebelum membawa penumpangnya bersafari, Ngadiman menarik bayaran dulu kepada penumpang. Biaya untuk naik perahu wisata ini sangatlah terjangkau. Cukup Rp 5000 saja. 

“Ayo sudah siap untuk naik perahu?,” ucap Ngadiman sebelum menyalakan mesin perahu.

Rute yang diambil Ngadiman cukup lumayan. Perahu tersebut diarahkan menuju utara laguna. Para penumpang diajak menyusuri indahnya laguna yang tepiannya dihiasi gundukan pasir dan pepohonan liar. Mereka pun begitu menikmati keindahan alami tersebut. Beberapa ada yang sibuk mengabadikan keindahan laguna dengan gawai pintar, atau kamera profesional masing-masing. Setelah 10 menit berkeliling, Ngadiman pun membawa penumpang kembali ke dermaga laguna. Tak terlihat raut kecewa dari wajah penumpang. Seluruhnya tersenyum gembira, tanda terpuaskan atas wisata murah yang ditawarkan Ngadiman. 

“Saya kaget disuruh bayar Rp 5000. Ini murah sekali. Saya kira di tempat wisata seramai ini harganya bisa mahal, ternyata tidak. Sangat sebanding dengan pemandangan yang saya lihat,” ucap Diani Eka Rahmi Lubis (27), pengunjung asal Medan. 

Ngadiman merupakan satu dari operator perahu wisata Laguna di Pantai Glagah. Sebelum menjadi operator perahu, Ngadiman sebelumnya adalah seorang nelayan. Hidupnya berubah tatkala Pantai Glagah dipercantik oleh pemerintah daerah setempat. Dia pun menjajal peruntungan dengan menjadi operator perahu wisata.

“Pantai Glagah berkah bagi saya. Dahulu penghasilan saya tak menentu. Kadang bisa melaut kadang enggak. Tergantung cuaca. Saya bersyukur laguna bisa dimanfaatkan menjadi tempat wisata. Dulu paling cuma buat mancing,” kata Ngadiman.

Dalam sehari, terlebih saat liburan, Ngadiman bisa mengangkut puluhan penumpang. Pada saat musim libur seperti kemarin, kurang lebih 27 perahu wisata disiapkan. Sementara pada hari biasa, hanya dua atau tiga unit saja yang dioperasikan. Disinggung mengenai persaingan antar operator, Ngadiman mengaku tak pernah merasakan atmosfer tersebut. Masing-masing operator melakukan strategi dengan menggilir perahu mereka supaya penghasilannya bisa sama rata. 

“Tidak ada istilah persaingan di antara kami. Kita semua sama-sama mencari uang dari perahu, jadi tidak usah takut rejekinya diambil orang,” ucap Ngadiman sambil tersenyum.(Windiyati Retno Sumardiyani)***

perahu wisata yang diparkirkan di tepian Laguna Pantai Glagah
Kabupaten Kulon Progo,Yogyakarta.