Minggu, 30 Oktober 2016

Sepasang Renta, Cerita Jepang, dan Payung Geulis

Tidak banyak yang tahu jika lorong sempit di sudut Kampung Panyingkiran, RT. 3, RW.2,Kelurahan Panyingkiran, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya adalah saksi bisu asal muasal Payung Geulis. 

Di tepian Sungai Ciloseh itu, masih tersisa tangan-tangan perkasa yang menghabiskan masa tuanya dengan membuat kerajinan khas Tasikmalaya itu. 
Mereka adalah Aah (72) dan Hanan Sumarna (74). Payung geulis secara tak langsung telah mempersatukan mereka. Aah yang anak dari seorang perajin payung geulis memenuhi pinangan adik dari perajin payung geulis, Sahron. 

Mereka pun tak hanya membina bahtera rumah tangga bersama, namun juga sama-sama berjuang melestarikan payung geulis yang sempat punah 60-an. 

Hanan Sumarna saat dijumpai di Gubuk sederhananya, Jumat, 28 Oktober 2016 lalu menceritakan cerita kelam tentang payung geulis yang nyaris hilang karena gempuran payung buatan Jepang dpada tahun 1963.

Setahun sebelum payung plastik menjamur di Indonesia, pasukan Jepang khusus datang ke Tasikmalaya untuk melihat proses pembuatan payung lukis yang kala itu sudah termasyur namanya. Hanan mengatakan, saat itu rombongan orang Jepang mendatangi Kampung Payingkiran. Kala itu, hampir seluruh penduduk di Payingkiran berprofesi sebagai perajin. 

Hanan ingat betul bagaimana rombongan Jepang bertanya tentang proses pembuatan payung geulis mulai dari merangkai kerangka payung, memasang benang, mengelem kertas pada payung, hingga pengecatan. 

"Pada waktu itu ya kita sebagai orang Indonesia dituntut ramah kepada siapapun. Kita ajari mereka semua, tidak tahu kalau tujuannya untuk meniru. Eh tidak tahunya, setahun kemudian payung jepang masuk ke Tasikmalaya, di situlah payung lukis mati," tutur Hanan. 

Menurut Hanan, payung geulis mulai bergeliat kembali pada 1980. Kendati demikian payung lukis buatan Tasikmalaya bukan lagi dikenal sebagai payung untuk melindungi diri dari sinar matahari atau hujan. Melainkan kerajinan tangan, yang digunakan sebagai hiasan rumahan. Nama payung geulis sendiri sebenarnya baru tenar pada tahun 90an. Kala itu, kakak Hanan, Sahron, dipanggil mantan Presiden Republik Indonesia kedua, Soeharto karena kerajinan payung lukis mulai terkenal di nusantara. Dari situ, Sahron menamakan payungnya dengan payung geulis. 

"Saya tak tahu persis kenapa dinamakan payung geulis, ya mungkin karena payungnya cantik, jadi kakak saya menamakan payung Tasikmalaya jadi payung geulis, dan terkenal sampai sekarang," kata Hanan. 

Naik daun

Sang istri, Aah mengatakan, tahun ini permintaan payung geulis sangat meningkat. Setiap bulannya ia bisa mengerjakan minimal 30 pesanan payung geulis yang jenisnya bervariasi mulai dari ukuran 20 sentimete hingga 60 sentimeter. Meskipun payung geulis naik daun, Aah mengaku pendapatan yan diterima dari mengerjakan payung geulis tidak besar. Aah menyebutkan, setiap bulannya ia hanya mendapatkan upah minimal Rp 300 ribu dari pembuatan payung geulis. 

Itu sebabnya, kawula muda termasuk anaknya lebih memilih bekerja di bidang lain daripada meneruskan tradisi keluarga menjadi perajin payung geulis. 

"Anak saya tiga, hanya satu saja yang mau bantu-bantu saya, itupun hanya sesekali. Cucu saya juga begitu, kalau diajarin melukis payung, bilangnya takut kotor," ucap Aah. 

Kondisi tersebut membuat Aah sedikit khawatir dengan masa depan payung geulis. Aah takut, suatu saat tidak ada lagi generasi pemuda yang mau melestarikan payung geulis sehingga payung kebanggaan masyarakat Panyingkiran ini diklaim negara lain, sama halnya seperti yang terjadi pada tahun 1960an. 

"Harapan kami ada penerus yang mau melanjutkan tradisi keluarga sebagai perajin payung geulis, bagaimanapun membuat payung geulis itu bukan hanya pekerjaan, tetapi tradisi yang harus dilestarikan," kata Aah. 

Pengusaha perajin payung tradisional Hasta Adhi Karya, Bagus Judowono Tadjri (70) pun berharap ada generasi penerus yang mau membesarkan industri payung geulis. Saat ini, upaya pemerintah untuk menggeliatkan payung geulis cukup positif. 
Jika tidak direspon oleh generasi muda, mantan karyawan perusahaan farmasi itu pun khawatir, tak ada lagi payung geulis yang bisa dibanggakan di Kota Tasikmalaya.

"Saya ini bukan orang asli Tasikmalaya, tetapi saya jatuh cinta dengan payung geulis. Kinerja pemerintah sudah maksimal, bantuan juga diberikan, termasuk memberikan pelatihan juga. Tetapi sudah saatnya yang tua-tua ini istirahat, digantikan dengan yang muda," kata Bagus.



Tulisan juga di muat di Harian Pikiran Rakyat edisi cetak Sabtu 29 Oktober 2016 halaman 1 dengab judul "Setelah Jepang Bertandang.."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar