Rabu, 30 Desember 2015

Kisah Pilu“Kembang Gadung”


Gending Tatalu menggema di seluruh penjuru Gedung Kebudayaan Amphiteater Universitas Pendidikan Indonesia, Jalan Dr. Setiabudi, 229, Kota Bandung, Senin (21/12/2015).  Suasana semakin khidmat tatkala  langgam Sunda mengalun merdu dari seorang sinden yang duduk bersimpuh bersama para pengrawit.
Pemandangan semakin menarik ketika tujuh penari berparas elok mempersembahkan  tari “Srikandi Mustikaweni”. Dengan lemah gemulai, para penari membentuk formasi yang menarik perhatian. Senyum manis dari para penari pun terus tersungging, seolah meminta hadirin yang memenuhi Gedung Amphiteater untuk terus menatap mereka.
Sajian tari “Srikandi Mustikaweni”  berganti dengan pertunjukan ritus lima nenek renta.  Kelima nenek dengan muka penuh amarah tampak berang karena pada pertunjukan itu, sang pengrawit dan sinden tidak melanggamkan tembang “Kembang Gadung”.
Tembang “Kembang Gadung” merupakan  lagu tradisional  Sunda yang sering dinyanyikan di berbagai pertunjukan. Bagi masyarakat Sunda khususnya Kabupaten Subang,  lagu tersebut dianggap sebagai lagu sakral yang difungsikan sebagai doa untuk mengawali pertunjukan.
Sebelum tembang “Kembang Gadung” disenandungkan,  lima penari berwujud nenek renta terlebih dahulu mempertunjukan ritus pembacaan mantra. Bau dupa pun menusuk hidung, menandai dinyanyikannya  tembang “Kembang Gadung”.
Serangkaian pertunjukan tersebut hanya pembuka pertunjukan teater bertajuk “Kembang Gadung”.  Sajian drama Sunda karya seniman kelahiran Ciamis, Dhipa Galuh Purba dibawakan dengan penuh penghayatan oleh para mahasiswa Pendidikan Seni Tari Universitas Pendidikan Indonesia.
Kisah pilu tentang perjuangan pejuang Sunda Kabupaten Subang melawan kompeni Belanda menjadi kisah pilu yang disuguhkan dalam kurun waktu dua jam. Pementasan “Kembang Gadung”  diawali dengan pertunjukan  kesenian Doger, sebuah kesenian yang dihadirkan di kawasan perkebunan Subang.
Bangsawan Belanda pemilik perkebunan, Hofland (Syaiful Ramadhan)  menanggap kesenian Doger  sebagai hiburan bagi kuli perkebunan.  Dalam latar bernuansa Belanda itu,  Hofaln ditemani sang istri, Mavrouw Hofland (Fariska Maulidya)bercengkerama dengan para petinggi  Subang seperti Inspektur Tonny (Sandi jembar), Mantri Polisi Yono (Ruby Dalulansyah), Humandor Hendrik (Ast Johaendi) dan Demang Malik (Rizqy Nugraha) beserta 4 istrinya. Suasana Belanda kental terasa karena perbincangan mereka tak hanya menggunakan bahasa Sunda, namun juga sedikit campuran Bahasa Belanda. Selain itu, busana  dan tata rias para tokoh begitu total, seolah benar-benar menghadirkan suasana penjajahan Belanda pada awal 1940-an.
Perbincangan para kompeni Belanda dan para kroninya  berubah ricuh tatkala Hofland tertarik dengan salah satu penyanyi Doger, Nyai Karsinah (Novia Indriani). Ki Lapidin (Indra Gandara), salah seorang rakyat pribumitak terima Nyai Karsinah dipersunting  Kompeni Belanda. Dia yang mencintai  Nyai Karsinah berusaha menyelamatkan pujaan hatinya dari jeratan Hofland. Adu mulut berujung perkelahian antara Ki Lapidin dengan Mantri Polisi Yono pun menjadi sajian yang menegangkan.
Selain adegan menegangkan, bumbu-bumbu humor juga tertuang dalam pementasan ini. Salah satu babak yang mengundang tawa adalah saat  rumah Hofland dan kroni-kroninya disatroni maling. Para istri pejabat berlarian keluar rumah dengan balutan kemben seperti baru akan mandi. Tokoh pembantu yang diperankan para pria dengan tingkah kemayu juga menjadi sajian yang lucu.
Latar bernuansa Belanda berganti dengan suasana perkampungan seniman Doger di Padepokan Subang Larang.  Panggung pementasan sengaja digelapkan untuk mengganti set latar. Sepasang kakek dan nenek terlihat memasuki panggung dengan raut gembira karena mendapatkan uang ‘kaget’. Sementara dua seniman Doger tampak cemas karena Ki Lapidin tak kunjung kembali.
Kericuhan pun terjadi saat  Demang Malik mendatangi  desa itu untuk mencari Lapidin. Adegan pertumpahan darah antara warga kampung Padepokan Doger Subang Larang dengan pengikut Demang Malik tersaji pada babak ini. Dalam adegan ini, Ki Lapidin diancam oleh Hofland. Jika tidak menyerahkan diri, maka dia akan membunuh Nyai Karsinah dan masyarakat Padepokan Doger Subang Larang.
Pementasan “Kembang Gadung” pun berakhir pilu. Sang pejuang Sunda, Lapidin akhirnya dihukum gantung karena enggan tunduk oleh perintah kompeni Belanda. Dalam keadaan sekarat, Lapidin meminta Nyai Karsinah  menyanyikan langgam “Kembang Gadung”.
/Muji Syukur ka Yang Agung/Ka Gusti Nu Maha Suci/
/Kembang  gadung nu kahatur/ Ka Sadaya kaum dangu/
/Neda hembar hampurana/ Ka Gusti Nu Maha Suci/
/Neda diaping dijaring/Neda sapaat pangriksa//

            Penggalan lirik “Kembang Gadung” itu mengalun pilu dinyanyikan sang Nyai Karsinah. Adegan merobek bagian biru bendera Belanda oleh Nyai Karsinah berujung dengan penembakan Karsinah oleh Hofland menjadi penutup kisah sendu “Kembang Gadung”.


            

Menyusuri Kisah Tentang Donat

Makanan juga seni. Demikian diungkapkan Della Tristani, kurator  pameran Toridal: Pseudo Doughnuts Museum.  Kalimat  pengantar itu terpampang jelas  di sudut ruangan Urbane Gallery, Jalan Cigadung Raya Barat 5,  Cihapeut, Bandung.  Dalam lembaran poster bertajuk “Toroidal-Seni di Atas Lidah”, Della juga menjelaskan jika kulinari masuk dalam kategori seni.  Kulinari dikatakan sebagai seni apabila sejalan dengan konsep seniman.
Dari filosofi tersebut, tujuh mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung bekerja sama dengan kelompok pecinta donat “Ludlow Doughnuts” menggelar sebuah pameran bertajuk “Toroidal:Pseudo Doughnuts Museum” di Urbane Gallery, 11-15 Desember. Tujuh mahasiswa itu di antaranya Della Tristani, Mira Rizki, Hazim Muhammad, Hilmy Pratama, Rahayu Retnaningrum, Rusyan Yasin, Karina Rizkyta, dan Riki Bagja.
Pameran itu didesain selayaknya musem donat. Mengunjungi pameran itu, pengunjung seolah mendapatkan pengetahuan baru tentang asal muasal penganan berbentuk cincin itu. Dinamakan toroidal karena secara bentuk,  donat menyerupai toroidal yakni sama-sama bulat seperti cincin. Donat dalam pameran ini disajikan layaknya artefak karya seni yang memiliki kisah serta perubahan bentuk dan gaya.
Memasuki  ruangan,  pengunjung langsung diminta mengikuti instruksi anak panah untuk menaiki tangga. Anak panah tersebut seperti menunjukkan pengunjung untuk mengikuti sejarah awal mula lahirnya merek donat bernama  “Ludlow Doughnut”.
Kisah “Ludlow Doughnut” berawal  sejak 1885. Pada sebuah kertas berukuran A3, terpampang sejarah berdirinya “Ludlow Doughnut” yang diawali dari  lahirnya Rebecca Joralemon Ludolph.  Rebecca merupakan putri pengusaha kaya rasa William A. Ludolph yang dikisahkan membuat usaha toko doughnuts  (donat) di Kota Phoenix, ibu kota negara bagian Arizona di Amerika Serikat. Kisah-kisah itu terpajang membentuk sebuah timeline yang di pajang pada dinding ruangan lantai dua Urbane Gallery.
 Pada setiap kisah, Della dan kawan-kawan selalu mencantumkan  tahun sebagai petunjuk kapan kisah itu terjadi. Untuk meyakinkan kisah tersebut seperti nyata, foto-foto zaman dulu juga terpampang di sisi kanan atau kiri  latar cerita.
Beranjak dari kisah Rebbeca tentang usaha doughnuts dengan perubahan nama merek “Ludloph” berganti nama menjadi “Ludlow”, suguhan cerita tentang upaya anak Rebbeca, Anthony Ludolph dalam mengembangkan usaha warisan sang ibu juga membuat pengunjung betah bertahan menyusuri kisah demi kisah.
Dalam timeline kisah Anthony di era 1936 turut terpajang sebuah poster “Doughnut On Wheels”. Poster berukuran 210 x 297 milimeter dengan gambar sepeda, dua buah donat, dan tulisan besar “Doughnut On Wheels” berwarna hitam putih seolah dideskripsikan sebagai media promosi toko “Ludlow”. Berbeda dengan kisah Rebbeca, pada kisah Anthony, selebaran advertensi doughnut “Ludlow” lebih banyak ditampilkan. Desain poster disesuaikan dengan tahun pembuatannya. Semakin bertambah usia “Ludlow doughnut”, semakin kekinian pula modelnya.
Kisah “Ludlow Doughnut” pada pameran itu berakhir pada tahun 2010. Pada timeline yang menjadi pamungkas dari kisah toko donat itu, “Ludlow Doughnut” diceritakan mendapat predikat toko donat yang paling disukai dari segi rasa dan kualitas oleh Asosiasi makanan Amerika.
Tak hanya menghadirkan kisah tentang sebuah toko donat, pameran itu juga menyuguhkan artefak instrumen pembuatan donat. Benda-benda itu dipajang rapi di sebuah rak lengkap dengan informasi tahun keberadaan alat tersebut. Selain itu, artefak lain seperti kardus donat usang ber merek “Ludlow Doughnut” juga semakin menguatkan kisah “Ludlow Dougnut” adalah nyata.
Bagi pengunjung yang tak paham benar tentang sejarah awal mula donat,  mereka pasti mengira jika kisah “Ludlow Dougnut” benar adanya. Rupanya, penyelenggara pameran memang sengaja memuat kisah senyata mungkin untuk mengelabui pengunjung. Pameran itu ibarat menjadi sentilan bagi penikmat donat yang selama ini hanya menikmati donat, namun tidak tahu mengenai sejarah donat itu sendiri.
 “Kami sengaja meriset sejarah tentang donat dan membuat kisah itu seolah menjadi sejarah awal mula donat ada. Banyak yang tidak sadar bahwa kisah itu hanya fiksi. Bahkan ada yang sampai menanyakan kepada kami apakah kisah itu nyata atau tidak,” ucap Mira Rizki, salah seorang penyelenggara pameran.
Selain timeline tentang sebuah kisah fiksi tentang donat, dan pameran alat pembuatan donat, proses pembuatan donat juga dihadirkan. Penyelenggara pameran mengibaratkan proses pembuatan donat sebagai sebuah studio bagi seniman.  Jika karya seni lebih mengandalkan indra penglihatan,  maka museum tersebut lebih mengutamakan indra pengecapan sebagai tanda apresiasi.
Penampakan pameran bertajuk “Toroidal:Pseudo Doughnuts Museum” di Urbane Gallery, 11-15 Desember. Tujuh mahasiswa itu di antaranya Della Tristani, Mira Rizki, Hazim Muhammad, Hilmy Pratama, Rahayu Retnaningrum, Rusyan Yasin, Karina Rizkyta, dan Riki Bagja.