Rabu, 30 Desember 2015

Menyusuri Kisah Tentang Donat

Makanan juga seni. Demikian diungkapkan Della Tristani, kurator  pameran Toridal: Pseudo Doughnuts Museum.  Kalimat  pengantar itu terpampang jelas  di sudut ruangan Urbane Gallery, Jalan Cigadung Raya Barat 5,  Cihapeut, Bandung.  Dalam lembaran poster bertajuk “Toroidal-Seni di Atas Lidah”, Della juga menjelaskan jika kulinari masuk dalam kategori seni.  Kulinari dikatakan sebagai seni apabila sejalan dengan konsep seniman.
Dari filosofi tersebut, tujuh mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung bekerja sama dengan kelompok pecinta donat “Ludlow Doughnuts” menggelar sebuah pameran bertajuk “Toroidal:Pseudo Doughnuts Museum” di Urbane Gallery, 11-15 Desember. Tujuh mahasiswa itu di antaranya Della Tristani, Mira Rizki, Hazim Muhammad, Hilmy Pratama, Rahayu Retnaningrum, Rusyan Yasin, Karina Rizkyta, dan Riki Bagja.
Pameran itu didesain selayaknya musem donat. Mengunjungi pameran itu, pengunjung seolah mendapatkan pengetahuan baru tentang asal muasal penganan berbentuk cincin itu. Dinamakan toroidal karena secara bentuk,  donat menyerupai toroidal yakni sama-sama bulat seperti cincin. Donat dalam pameran ini disajikan layaknya artefak karya seni yang memiliki kisah serta perubahan bentuk dan gaya.
Memasuki  ruangan,  pengunjung langsung diminta mengikuti instruksi anak panah untuk menaiki tangga. Anak panah tersebut seperti menunjukkan pengunjung untuk mengikuti sejarah awal mula lahirnya merek donat bernama  “Ludlow Doughnut”.
Kisah “Ludlow Doughnut” berawal  sejak 1885. Pada sebuah kertas berukuran A3, terpampang sejarah berdirinya “Ludlow Doughnut” yang diawali dari  lahirnya Rebecca Joralemon Ludolph.  Rebecca merupakan putri pengusaha kaya rasa William A. Ludolph yang dikisahkan membuat usaha toko doughnuts  (donat) di Kota Phoenix, ibu kota negara bagian Arizona di Amerika Serikat. Kisah-kisah itu terpajang membentuk sebuah timeline yang di pajang pada dinding ruangan lantai dua Urbane Gallery.
 Pada setiap kisah, Della dan kawan-kawan selalu mencantumkan  tahun sebagai petunjuk kapan kisah itu terjadi. Untuk meyakinkan kisah tersebut seperti nyata, foto-foto zaman dulu juga terpampang di sisi kanan atau kiri  latar cerita.
Beranjak dari kisah Rebbeca tentang usaha doughnuts dengan perubahan nama merek “Ludloph” berganti nama menjadi “Ludlow”, suguhan cerita tentang upaya anak Rebbeca, Anthony Ludolph dalam mengembangkan usaha warisan sang ibu juga membuat pengunjung betah bertahan menyusuri kisah demi kisah.
Dalam timeline kisah Anthony di era 1936 turut terpajang sebuah poster “Doughnut On Wheels”. Poster berukuran 210 x 297 milimeter dengan gambar sepeda, dua buah donat, dan tulisan besar “Doughnut On Wheels” berwarna hitam putih seolah dideskripsikan sebagai media promosi toko “Ludlow”. Berbeda dengan kisah Rebbeca, pada kisah Anthony, selebaran advertensi doughnut “Ludlow” lebih banyak ditampilkan. Desain poster disesuaikan dengan tahun pembuatannya. Semakin bertambah usia “Ludlow doughnut”, semakin kekinian pula modelnya.
Kisah “Ludlow Doughnut” pada pameran itu berakhir pada tahun 2010. Pada timeline yang menjadi pamungkas dari kisah toko donat itu, “Ludlow Doughnut” diceritakan mendapat predikat toko donat yang paling disukai dari segi rasa dan kualitas oleh Asosiasi makanan Amerika.
Tak hanya menghadirkan kisah tentang sebuah toko donat, pameran itu juga menyuguhkan artefak instrumen pembuatan donat. Benda-benda itu dipajang rapi di sebuah rak lengkap dengan informasi tahun keberadaan alat tersebut. Selain itu, artefak lain seperti kardus donat usang ber merek “Ludlow Doughnut” juga semakin menguatkan kisah “Ludlow Dougnut” adalah nyata.
Bagi pengunjung yang tak paham benar tentang sejarah awal mula donat,  mereka pasti mengira jika kisah “Ludlow Dougnut” benar adanya. Rupanya, penyelenggara pameran memang sengaja memuat kisah senyata mungkin untuk mengelabui pengunjung. Pameran itu ibarat menjadi sentilan bagi penikmat donat yang selama ini hanya menikmati donat, namun tidak tahu mengenai sejarah donat itu sendiri.
 “Kami sengaja meriset sejarah tentang donat dan membuat kisah itu seolah menjadi sejarah awal mula donat ada. Banyak yang tidak sadar bahwa kisah itu hanya fiksi. Bahkan ada yang sampai menanyakan kepada kami apakah kisah itu nyata atau tidak,” ucap Mira Rizki, salah seorang penyelenggara pameran.
Selain timeline tentang sebuah kisah fiksi tentang donat, dan pameran alat pembuatan donat, proses pembuatan donat juga dihadirkan. Penyelenggara pameran mengibaratkan proses pembuatan donat sebagai sebuah studio bagi seniman.  Jika karya seni lebih mengandalkan indra penglihatan,  maka museum tersebut lebih mengutamakan indra pengecapan sebagai tanda apresiasi.
Penampakan pameran bertajuk “Toroidal:Pseudo Doughnuts Museum” di Urbane Gallery, 11-15 Desember. Tujuh mahasiswa itu di antaranya Della Tristani, Mira Rizki, Hazim Muhammad, Hilmy Pratama, Rahayu Retnaningrum, Rusyan Yasin, Karina Rizkyta, dan Riki Bagja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar