Makanan juga seni. Demikian
diungkapkan Della Tristani, kurator
pameran Toridal: Pseudo Doughnuts Museum. Kalimat
pengantar itu terpampang jelas di
sudut ruangan Urbane Gallery, Jalan Cigadung Raya Barat 5, Cihapeut, Bandung. Dalam lembaran poster bertajuk “Toroidal-Seni
di Atas Lidah”, Della juga menjelaskan jika kulinari masuk dalam kategori
seni. Kulinari dikatakan sebagai seni
apabila sejalan dengan konsep seniman.
Dari filosofi tersebut, tujuh
mahasiswa Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung bekerja sama
dengan kelompok pecinta donat “Ludlow Doughnuts” menggelar sebuah pameran
bertajuk “Toroidal:Pseudo Doughnuts Museum” di Urbane Gallery, 11-15 Desember. Tujuh
mahasiswa itu di antaranya Della Tristani, Mira Rizki, Hazim Muhammad, Hilmy
Pratama, Rahayu Retnaningrum, Rusyan Yasin, Karina Rizkyta, dan Riki Bagja.
Pameran itu didesain selayaknya musem
donat. Mengunjungi pameran itu, pengunjung seolah mendapatkan pengetahuan baru
tentang asal muasal penganan berbentuk cincin itu. Dinamakan toroidal karena
secara bentuk, donat menyerupai toroidal
yakni sama-sama bulat seperti cincin. Donat dalam pameran ini disajikan
layaknya artefak karya seni yang memiliki kisah serta perubahan bentuk dan
gaya.
Memasuki ruangan,
pengunjung langsung diminta mengikuti instruksi anak panah untuk menaiki
tangga. Anak panah tersebut seperti menunjukkan pengunjung untuk mengikuti sejarah
awal mula lahirnya merek donat bernama “Ludlow Doughnut”.
Kisah “Ludlow Doughnut” berawal sejak 1885. Pada sebuah kertas berukuran A3,
terpampang sejarah berdirinya “Ludlow Doughnut” yang diawali dari lahirnya Rebecca Joralemon Ludolph. Rebecca merupakan putri pengusaha kaya rasa
William A. Ludolph yang dikisahkan membuat usaha toko doughnuts (donat) di Kota
Phoenix, ibu kota negara bagian Arizona di Amerika Serikat. Kisah-kisah itu terpajang
membentuk sebuah timeline yang di
pajang pada dinding ruangan lantai dua Urbane Gallery.
Pada setiap kisah, Della dan kawan-kawan
selalu mencantumkan tahun sebagai
petunjuk kapan kisah itu terjadi. Untuk meyakinkan kisah tersebut seperti
nyata, foto-foto zaman dulu juga terpampang di sisi kanan atau kiri latar cerita.
Beranjak dari kisah Rebbeca tentang usaha
doughnuts dengan perubahan nama merek
“Ludloph” berganti nama menjadi “Ludlow”, suguhan cerita tentang upaya anak
Rebbeca, Anthony Ludolph dalam mengembangkan usaha warisan sang ibu juga
membuat pengunjung betah bertahan menyusuri kisah demi kisah.
Dalam timeline kisah Anthony di era 1936 turut terpajang sebuah poster “Doughnut
On Wheels”. Poster berukuran 210 x 297 milimeter dengan gambar sepeda, dua buah
donat, dan tulisan besar “Doughnut On Wheels” berwarna hitam putih seolah
dideskripsikan sebagai media promosi toko “Ludlow”. Berbeda dengan kisah
Rebbeca, pada kisah Anthony, selebaran advertensi doughnut “Ludlow” lebih banyak ditampilkan. Desain poster
disesuaikan dengan tahun pembuatannya. Semakin bertambah usia “Ludlow doughnut”, semakin kekinian pula
modelnya.
Kisah “Ludlow Doughnut” pada pameran
itu berakhir pada tahun 2010. Pada timeline
yang menjadi pamungkas dari kisah toko donat itu, “Ludlow Doughnut” diceritakan
mendapat predikat toko donat yang paling disukai dari segi rasa dan kualitas
oleh Asosiasi makanan Amerika.
Tak hanya menghadirkan kisah tentang
sebuah toko donat, pameran itu juga menyuguhkan artefak instrumen pembuatan
donat. Benda-benda itu dipajang rapi di sebuah rak lengkap dengan informasi
tahun keberadaan alat tersebut. Selain itu, artefak lain seperti kardus donat
usang ber merek “Ludlow Doughnut” juga semakin menguatkan kisah “Ludlow
Dougnut” adalah nyata.
Bagi pengunjung yang tak paham benar
tentang sejarah awal mula donat, mereka
pasti mengira jika kisah “Ludlow Dougnut” benar adanya. Rupanya, penyelenggara
pameran memang sengaja memuat kisah senyata mungkin untuk mengelabui
pengunjung. Pameran itu ibarat menjadi sentilan bagi penikmat donat yang selama
ini hanya menikmati donat, namun tidak tahu mengenai sejarah donat itu sendiri.
“Kami sengaja meriset sejarah tentang donat
dan membuat kisah itu seolah menjadi sejarah awal mula donat ada. Banyak yang
tidak sadar bahwa kisah itu hanya fiksi. Bahkan ada yang sampai menanyakan
kepada kami apakah kisah itu nyata atau tidak,” ucap Mira Rizki, salah seorang
penyelenggara pameran.
Selain timeline
tentang sebuah kisah fiksi tentang donat, dan pameran alat pembuatan donat, proses
pembuatan donat juga dihadirkan. Penyelenggara pameran mengibaratkan proses
pembuatan donat sebagai sebuah studio bagi seniman. Jika karya seni lebih mengandalkan indra
penglihatan, maka museum tersebut lebih
mengutamakan indra pengecapan sebagai tanda apresiasi.
Penampakan pameran bertajuk “Toroidal:Pseudo Doughnuts Museum” di Urbane Gallery, 11-15 Desember. Tujuh mahasiswa itu di antaranya Della Tristani, Mira Rizki, Hazim Muhammad, Hilmy Pratama, Rahayu Retnaningrum, Rusyan Yasin, Karina Rizkyta, dan Riki Bagja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar