Gending Tatalu menggema di seluruh penjuru Gedung
Kebudayaan Amphiteater Universitas Pendidikan Indonesia, Jalan Dr. Setiabudi,
229, Kota Bandung, Senin (21/12/2015). Suasana
semakin khidmat tatkala langgam Sunda
mengalun merdu dari seorang sinden yang duduk bersimpuh bersama para pengrawit.
Pemandangan semakin
menarik ketika tujuh penari berparas elok mempersembahkan tari “Srikandi Mustikaweni”. Dengan lemah
gemulai, para penari membentuk formasi yang menarik perhatian. Senyum manis
dari para penari pun terus tersungging, seolah meminta hadirin yang memenuhi
Gedung Amphiteater untuk terus menatap mereka.
Sajian tari “Srikandi
Mustikaweni” berganti dengan pertunjukan
ritus lima nenek renta. Kelima nenek
dengan muka penuh amarah tampak berang karena pada pertunjukan itu, sang
pengrawit dan sinden tidak melanggamkan tembang “Kembang Gadung”.
Tembang “Kembang Gadung”
merupakan lagu tradisional Sunda yang sering dinyanyikan di berbagai
pertunjukan. Bagi masyarakat Sunda khususnya Kabupaten Subang, lagu tersebut dianggap sebagai lagu sakral
yang difungsikan sebagai doa untuk mengawali pertunjukan.
Sebelum tembang “Kembang
Gadung” disenandungkan, lima penari
berwujud nenek renta terlebih dahulu mempertunjukan ritus pembacaan mantra. Bau
dupa pun menusuk hidung, menandai dinyanyikannya tembang “Kembang Gadung”.
Serangkaian pertunjukan
tersebut hanya pembuka pertunjukan teater bertajuk “Kembang Gadung”. Sajian drama Sunda karya seniman kelahiran
Ciamis, Dhipa Galuh Purba dibawakan dengan penuh penghayatan oleh para
mahasiswa Pendidikan Seni Tari Universitas Pendidikan Indonesia.
Kisah pilu tentang
perjuangan pejuang Sunda Kabupaten Subang melawan kompeni Belanda menjadi kisah
pilu yang disuguhkan dalam kurun waktu dua jam. Pementasan “Kembang Gadung” diawali dengan pertunjukan kesenian Doger, sebuah kesenian yang
dihadirkan di kawasan perkebunan Subang.
Bangsawan Belanda pemilik
perkebunan, Hofland (Syaiful Ramadhan) menanggap kesenian Doger sebagai hiburan bagi kuli perkebunan. Dalam latar bernuansa Belanda itu, Hofaln ditemani sang istri, Mavrouw Hofland
(Fariska Maulidya)bercengkerama dengan para petinggi Subang seperti Inspektur Tonny (Sandi jembar),
Mantri Polisi Yono (Ruby Dalulansyah), Humandor Hendrik (Ast Johaendi) dan
Demang Malik (Rizqy Nugraha) beserta 4 istrinya. Suasana Belanda kental terasa
karena perbincangan mereka tak hanya menggunakan bahasa Sunda, namun juga sedikit
campuran Bahasa Belanda. Selain itu, busana
dan tata rias para tokoh begitu total, seolah benar-benar menghadirkan
suasana penjajahan Belanda pada awal 1940-an.
Perbincangan para kompeni
Belanda dan para kroninya berubah ricuh
tatkala Hofland tertarik dengan salah satu penyanyi Doger, Nyai Karsinah (Novia
Indriani). Ki Lapidin (Indra Gandara), salah seorang rakyat pribumitak terima
Nyai Karsinah dipersunting Kompeni
Belanda. Dia yang mencintai Nyai
Karsinah berusaha menyelamatkan pujaan hatinya dari jeratan Hofland. Adu mulut
berujung perkelahian antara Ki Lapidin dengan Mantri Polisi Yono pun menjadi
sajian yang menegangkan.
Selain adegan menegangkan,
bumbu-bumbu humor juga tertuang dalam pementasan ini. Salah satu babak yang
mengundang tawa adalah saat rumah
Hofland dan kroni-kroninya disatroni maling. Para istri pejabat berlarian
keluar rumah dengan balutan kemben seperti baru akan mandi. Tokoh pembantu yang
diperankan para pria dengan tingkah kemayu juga menjadi sajian yang lucu.
Latar bernuansa Belanda
berganti dengan suasana perkampungan seniman Doger di Padepokan Subang Larang. Panggung pementasan sengaja digelapkan untuk mengganti
set latar. Sepasang kakek dan nenek terlihat memasuki panggung dengan raut
gembira karena mendapatkan uang ‘kaget’. Sementara dua seniman Doger tampak
cemas karena Ki Lapidin tak kunjung kembali.
Kericuhan pun terjadi
saat Demang Malik mendatangi desa itu untuk mencari Lapidin. Adegan
pertumpahan darah antara warga kampung Padepokan Doger Subang Larang dengan
pengikut Demang Malik tersaji pada babak ini. Dalam adegan ini, Ki Lapidin diancam
oleh Hofland. Jika tidak menyerahkan diri, maka dia akan membunuh Nyai Karsinah
dan masyarakat Padepokan Doger Subang Larang.
Pementasan “Kembang
Gadung” pun berakhir pilu. Sang pejuang Sunda, Lapidin akhirnya dihukum gantung
karena enggan tunduk oleh perintah kompeni Belanda. Dalam keadaan sekarat,
Lapidin meminta Nyai Karsinah
menyanyikan langgam “Kembang Gadung”.
/Muji Syukur ka Yang Agung/Ka Gusti Nu Maha Suci/
/Kembang gadung
nu kahatur/ Ka Sadaya kaum dangu/
/Neda hembar hampurana/ Ka Gusti Nu Maha Suci/
/Neda diaping dijaring/Neda sapaat pangriksa//
Penggalan lirik “Kembang Gadung” itu
mengalun pilu dinyanyikan sang Nyai Karsinah. Adegan merobek bagian biru
bendera Belanda oleh Nyai Karsinah berujung dengan penembakan Karsinah oleh
Hofland menjadi penutup kisah sendu “Kembang Gadung”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar